Selasa, 01 Oktober 2013

Catatan Pe(r)temuan 2

Kita tidak bisa menepikan segala waktu yang disediakan Tuhan
Kemudian pintapinta seakan menjerit menyebut engkau
Debaran telah tersisa dari pertemuan sebelumnya
Mata, cahaya, sukma

Ada yang merdu di  luangluang kalbu
Kuisi dengan lantun doa, dan terselipnya namamu
Tak terduga
Tak terbata

...

Kita tak pernah bisa menepikan waktu yang disediakan Tuhan
Aku tak bisa
Kau pun serupa

Selaras rindu yang tak tersebut
Jumpa itu kian datang dan menasbihkan getaran lembut
Terang memagut

Siapakah engkau?
yang membawa rindang di hamparan padang gersang

Siapakah engkau?
yang melabuhkan keteduhan dalam kerap pertemuan tak terkirakan

Siapakah engkau?
yang menyebut nama dengan senyum di mata cahaya

...

Tuhan,
siapakah dia?
yang kutulis sebait kata dalam kitabnya: terimakasih, terima.
 




Rawajati, Akhir Agustus 2013.

Catatan Pe(r)temuan 1


Pertama kali aku berdebar adalah ketika magrib itu membawamu padaku. 
Dengan senyum yang belakangan seringkali kudapati.
Magrib itu, ragamu tepat di hadapanku, antara kita meja yang membatasi langkah pandang.
Seakan menjawab semua keanehan yang datang malam sebelumnya, saat tetiba dirimu begitu saja masuk ke pikiranku.
Lalu apa yang harus aku terjemahkan?
Hanya bisa menunduk, tak mampu membaca matamu yang bercahaya.

Perasaan?
Bahkan aku tak sekalipun memikirkan -setidaknya sebelumnya- dan kurasa kau pun begitu.
Tapi aku berdebar, sesaat menjadi naif, sesaat lagi menjadi hilang arah, sesaat lagi menjadi diriku kembali. 
Ya, diriku kembali, ketika aku kehilangan katakata yang bahkan tak pernah kupersiapkan untukmu.

Sesekali tersibak dari batinku, mengapa kemudian kita bertemu?
Sedekat ini?
Padahal tak sampai hendakku berhirau-sapa. Bahkan kuenggan menebar kata.
Dirimu begitu kamuflase, begitu bergaya prestise -setidaknya pikirku-.
Tapi siapa  mengira, telah tiba masa kita bercakap, begitu akrab.
Bercerita tentang dirimu tanpa kesengajaan, engkau begitu lepas meski malumalu.
Bergurau-canda, mencair suasana.
Seiring itu pula mencair ke-angkuhanku.
Ada yang tak pernah kutemu dalam dirimu.
Kukira iman membawamu dalam kejauhan, namun rasanya -harus kuakui- begitu menghangatkan.
Nyatanya, sesuatu membawa kita pada keharusan bertegur sapa.

Tak pernah terpikir sebelumnya, sebuah kebaikan dan keindahan sikap, meluluhkan angkuh yang kudinginkan selama ini.
Aku bahkan tak lagi memiliki alasan untuk tidak mengakrab denganmu.

Semasa aku sadari,
ada garis yang memang sudah terlukis,
sekiranya tentang pertemuan yang rasanya memang tak pernah siasia.

Masih pada magrib itu,
hamparan kurmakurma,
kupilihkan satu dan berkata: semanis inikah imanmu melantahkan egoku?

Salam.


Rawajati, Agustus 2013

Jumat, 02 Agustus 2013

KETIKA GAGAL FOKUS DI "THE CONJURING"


Yuhuu.. masih seputar "The Conjuring" (secara yah masih "hothot"nya) Hehe. Kali ini saya bukan mau cuapcuap tentang film "The Conjuring". Tapi lebih ingin menceritakan pengalaman saya waktu nonton "The Conjuring" itu sendiri.

Sebelum nonton, saya sempet cari tau komentar beberapa teman tentang film tersebut. Lumayan buat bikin aura gitu. Kebanyakan bilang sih serem. Malah ada yang bilang setelah nonton itu film, penonton ada yang kesurupan *itu sih lebay*. Intinya, 70% bilang serem dan bikin bergidik. Akhirnya tibalah waktu nonton. Awal-awal emang udah serem garagara boneka Annabelle versi film serem gilak! Lebih serem dari aslinya. Ya kali ada orang yang nyimpe boneka begitu yah? ck -____- 
Tapi suasana masih berlangsung kondusif, sambil ngenyamin popcorn saya terus menikmati jalannya film bersama dua sahabat saya, Lusy dan Nadia. Tale adegan horornya emang sengaja dibuat lambat kayaknya, biar menambah penasaran dan rasa deg-degan penonton. Dan hal itu memang terbukti ampuh. Apalagi "The Conjuring" termasuk film hollywood yang berani menampilkan sosoksosok hantu secara nyata a.k.a penampakan. Walhasil satu ruangan bioskop itu teriakteriak gak jelas. Saya cukup menutup mata,sambil ngintipngintip dikit.

Gagal Fokus Pertama

Gagal fokus pertama adalah justru ketika sekian banyak penonton teriakteriak ketakutan berasa kayak rumah sendiri, teriakannnya macemmacem. Heboh. Termasuk dua orang sahabat saya, Lusy dan Nadia. Apalagi Nadia, teriakannya ditambah dengan cengkaraman tangannya yang dingin bikin saya jadi ikut degdegan tapi juga pingin ketawa. Ketawa lihat ekspresi ketakutan semua yang ada di situ. Alhasillah, saya ketakutan tapi sambil ketawa ketawa.. Si Nadia sampe abis suaranya. :|

CuapCuap tentang "The Conjuring"

Sebuah rumah berhantu. Awalnya saya kira itu yang menjadi fokus cerita dari "The Conjuring", tapi ternyata setelah menonton filmnya, ada hal menarik lain selain kisah nyata dari "rumah berhantu" yang dikenal dengan "Rhode Island Farmhouse". Kalau kisah nyata rumah berhantu mungkin sudah banyak ya kita dengar. Tapi yang membuat saya tertarik adalah pengankatan kisah "Ed & Lorraine Warren" yang merupakan paranormal modern dan mereka NYATA. Ternyata memang "The Conjuring" ini lebih mengangkat tentang kisah perjalanan sepasang suami-istri paranormal tersebut dalam memburu hantu.

***



"The Conjuring" mengangkat kisah nyata dari pengalaman "Ed & Lorraine Warren" dalam perjalanan mereka sebagai paranormal (demonologist) yang berlatar tahun '70an. Dari sekian banyak pengalaman pasangan Warren dalam memburu hantu, pemburuan yang diangkat dalam "The Conjuring" ini adalah ketika pasangan Warren menangani kasus hantu boneka Annabelle yang merupaka kisah "boneka hantu" fenomenal. Selain itu, diangkat pula pengalaman ketika menangani kasus di "Rhode Island Farmhouse" yang ditempati oleh keluarga Perron. Keluarga Perron kerap mengalami kejadian-kejadian aneh semenjak tinggal di rumah yang merupakan hasil pelelangan bank tersebut. Ternyata rumah tersebut dahulunya adalah rumah seorang "dukun" penganut ilmu hitam yang menjadikan bayinya sebagai tumbal, ia bernama Bathsheba. Bathsheba sendiri mati gantung diri setelah membunuh anaknya. Sebelum mati, ia mengutuk seluruh tanah "Rhode Island Farmhouse" sehingga setiap yang menempatinya akan diganggu dan mengalami kejadian serupa dengan Bathsheba, yakni membunuh anaknya sendiri.

Selasa, 25 Juni 2013

Nasi Aduk Kornet

Bermula ketika saya lapar di malam hari yang sudah sangat larut dan ketika buka kulkas pilihannya cuma ada   mie instan dan kornet. Karena bosan dengan mie instan yang melulu, akhirnya saya pilih kornet. Awalnya agak bingung mau diapakan. Setelah kroscek dapur dan tersedia cabe bawang akhirnya terinspirasi bikin masakan ala-ala hehe. Sebut saja dia "nasduknet" : nasi aduk kornet. HAHAHA

Berikut adalah bahan dan tatacara pembuatan untuk sepiring NASDUKNET.

BAHAN
  1. Sepiring normal nasi putih (saya juga pernah bikin pake nasi uduk, karena kehabisan nasi putih, rasanya gurih).
  2. Kornet kurang lebih seperempat kaleng (kalau mau lebih banyak ya tambahkan saja jadi setengah).
  3. 5 sium bawang merah
  4. 1-2 sium bawang putih (saya biasanya pakai 2 bawang putih, 1 besar, 1 lagi agak kecilan)

Selasa, 11 Juni 2013

Di Balik Wanita Sukses, Terdapat Pria Hebat

Selama ini kita kan sering ya mendengar kalimat "di balik pria sukses, terdapat wanita hebat", ya itu benar sih. Tapi gak sepenuhnya benar menurut saya, karena kan ya sukses adalah pilihan pribadi masing-masing. 
Sampai saat ini saya masih gak setuju jika ada orang yang suka menitikberatkan kegagalan dirinya sebagai akibat dari kesalahan orang lain. 
Bukankah itu menunjukkan seberapa besar ketakberdayaan kita sebagai pelaku utama yang berupaya atas harapan kita sendiri? 


Lanjut ke poin utama ya.. 
Poin utamanya adalah inspirasi dari Almarhum Taufiq Kiemas.


LOH??

Tanggal 8 Juni 2013 kemarin, Bapak Taufiq Kiemas kembali ke haribaan Tuhan YME. Nah, secara beliau salah satu orang penting di NKRI maka jadilah beliau pembahasan yang cukup sering tampil di media. Suatu moment, tetiba di stasiun TV yang saya tonton acaranya tentang mengenang perjalanan hidup beliau. Mulai dari kecil, masa sekolah, masa kuliah, ikut organisasi, kenal Megawati, menikah, sampai meninggal dunia.

Megawati-(Alm.) Taufiq Kiemas
Dalam tulisan ini, saya melepas kesubjektivan saya dan kita semua dalam hal pro-kontra politik terhadap beliau. Tulisan saya ini memandang beliau sebagai seorang suami dari istrinya, Megawati Soekarno Putri.

Ketika melihat beliau, saya cenderung melihat pribadi yang tidak banyak bicara juga tidak banyak terekspos.  Ketika saya lihat riwayat keorganisasiannya, dia cenderung masuk golongan pemuda yang tidak mau diam dalam perkembangan politik bangsa. Aktif dan dinamis. Bahkan pernah masuk penjara karena pilihannya sebagai Sukarnois. Pokoknya eksis.

Minggu, 07 April 2013

Mitos Sindrom Kekosongan (?)

Hai.. Ni Hao.. Hello..

Agak berat yah judul entri saya kali ini? Hehe tapi sebenarnya sih gejalanya cukup sederhana dan sering banget terjadi di sekitar kita. Yap, berawal dari kehadiran salah satu teman yang tiba-tiba menceritakan kegalauannya dengan begitu ekspresif setelah putus dari sang kekasih, dia cerita ke saya dan beberapa teman lainnya. Nah, dari interaksi itu lah muncul celetukan-celetukan nasihat yang cukup menarik, juga muncul kalimat-kalimat kegalauan dan keputus-asaan yang keluar dari bibir si terdakwa. Saya sih gak banyak komentar, takut-takut nanti malah makin runyem. hehe

Galau? Putus Asa? Kecewa? Menyesal? Marah?
Wajar sih mengalami hal kayak gitu setelah putus. Setiap orang yang waktu menjalani hubungan niatnya gak cuma main-main atau mainin anak orang pasti akan ngerasa kayak gitu. Kadang otak jadi gak sinkron, semua perasaan itu campur aduk, apalagi kalau merasa jadi pihak yang di- bukan me- (padahal belum tentu). Saya juga pernah mengalaminya, kadang jadi lucu sendiri kalau inget, lucu lucu pahit. Haha. Ya tapi kembali kita mau belajar apa tidak dari apa yang kita alami. 
Luka yang sudah tergores memang gak bisa sembuh total, tapi maaf bisa jadi hal yang membuat kita melupakannya. Entah itu meminta maaf atau memaafkan. Keduanya sama baiknya saya rasa. *rambut berkibar*

Sabtu, 30 Maret 2013

HAMPA: Wujud Kegelisahan Sang Maestro Penyair

“HAMPA” : WUJUD KEGELISAHAN SANG MAESTRO PENYAIR
Sebuah Artikel Analisis Lapis Makna Puisi HAMPA Karya Chairil Anwar

Mengupas lapisan makna dalam tubuh puisi, tentunya tidak bisa terlepas dari faktor ekstrinsiknya. Dalam hal ini, sejarah mengenai terciptanya puisi tersebut serta sang pengarang itu sendiri menjadi penting untuk membangun spekulasi makna yang akan dimunculkan. Setelah mengetahui asal-usul tersebut, maka bisa terbayanglah apa yang terkandung dalam tiap bait puisi yang dicipta. Semua tentu berkaitan dengan emosional pengarang, baik secara pribadi maupun emosional akibat rasa empati pengarang terhadap sekitarnya.
HAMPA
kepada Sri
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak . Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik 
Memberat-mencengkung pundak
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan tiada
Maret 1943

Rabu, 20 Maret 2013

Hilang

Orang yang selalu ada di samping kita, yang dekat dengan kita, adalah orang yang paling akan merasakan perubahan yang ada pada diri kita, sekecil apapun itu. Sekecil apapun duka yang muncul ia pasti melihatnya. Sekecil apapun bahagia yang tersirat ia pasti menangkapnya. Sekecil apapun cinta yang tumbuh ia pasti memahaminya, dan sekecil apapun kasih sayang yang hilang, ia pasti merasakannya. Ia merasakannya.
****
Belakangan hari-hariku mulai terasa menghambarkan. Entah kenapa. Seperti ada yang kurang atau mungkin hilang. Di sini, di kota seramai ini, di pusat tak terelakan ini, aku justru merasa hening sendiri. Suara-suara bising di sekitarku hanya terasa sebagai hembusan angin yang sekejap pergi. Terasa sejenak lalu hilang, pergi. Seperti merasa sendiri. Itu sungguh menyedihkan.
Aku memiliki kekasih memang. Namanya Nod. Seorang yang sangat aku kasihi, hingga kunamakan ia kekasih. Tapi entah apa yang sedang dilakukannya sekarang. Pesan? Aku tidak mau mengirim pesan lagi. Tiga jam yang lalu aku sudah mengiriminya pesan. Kalau kukirimi ia pesan lagi, bukankah itu hanya akan memperburuk keadaan? Belakangan, kami kerap bertengkar karena ia merasa tidak terbebaskan olehku akhir-akhir ini. Kemarin ia menelefonku dan mengabariku bahwa ia tidak bisa mengirimiku pesan singkat sementara waktu. Karena sedang ada masalah dengan telefon genggamnya.

Minggu, 24 Februari 2013

Sombong!!

Sebaik apa sih kita? Sebagus apa sih kita? Sehebat apa sih kita? Sampai-sampai kita pantas untuk berlaku sombong? Padahal nih ya.. Tuhan sengaja ciptain kita sebagai manusia dengan ciri khas, yaitu memiliki kekurangan. NAH! THAT'S THE POINT! 

Menurut gue, Tuhan tuh sengaja menciptakan kita dengan tidak sempurna agar kita gak punya alasan untuk sombong. Tapi yaaa.. namanya manusia, kadang berbuat baik aja sombong, malah berbuat salah aja sombong. Suka lupa kan kalau kesombongan itu bagian dari kekurangan. So any other reason to be arrogant?

Gue sendiri gak terlepas dari kata "kesombongan". Gue akui, dalam sekian tahun hidup gue, gue pernah melakukannya. Bahkan kalau gue inget-inget dan intropeksi diri, kayaknya banyak kesombongan yang gue lakuin. Apalagi di masa-masa pembelajaran, masa remaja. Tapi gue bersyukur, di masa 20 tahun gue, gue dapat banyak pelajaran tentang kesombongan yang juga merupakan bagian dari 'nafsu'. Ya.. nafsu untuk menunjukkan diri hebat dan nafsu untuk merendahkan yang lainnya. Dari pelajaran yang gue dapet, gue coba bercermin dan rasanya malu ketika tahu betapa lo pernah melakukan kesombongan yang gak perlu lo lakuin. Thanks banget God, banyak peristiwa-peristiwa gak mudah yang sudah bikin gue sadar untuk bersikap lebih baik. 

LAGIAN NGAPAIN SIH SOMBONG?

Lo pinter?  oke.. 
Lo cerdas? bagus..
Lo aktif? keren..
Lo cantik/ganteng? wow..
Lo tajir? wew..
Lo master? menakjubkan..
Lo alim? membanggakan..

Tapi apa itu semua bisa menjadi alasan lo untuk memandang rendah orang lain? ENGGAK! SIAPA LO EMANG?? 
Menurut gue sih ya percuma aja punya poin itu semua atau salah satu di antaranya tapi akhirnya hanya membuat diri lo merendahkan orang lain. Siapa sih yang pantas lo rendahin?
Kita gak bisa samain

Rabu, 20 Februari 2013

Fenomena Terkini Penggunaan Bahasa di Ruang Publik

Wilayah penggunaan bahasa Indonesia di wilayah Indonesia kini semakin tergeser oleh penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Hal tersebut merupakan salah satu dampak dari ketidak-siapan mental masyarakat Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas dunia. Kemajuan zaman dan kebutuhan pengetahuan universal ditanggapi secara salah oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sehingga tuntutan mengikuti perkembangan zaman mampu menggerus kebudayaan dan identitas bangsa, di antaranya yang paling penting adalah penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakatnya sendiri.
            Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa komunikasi interbangsa, serta bahasa negara telah mendapat pengukuhan yang kuat, di antaranya pada konstitusi UUD pasal 36 c, UU No. 20 Th. 2003 mengenai bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan nasional, dan UU No. 24 Th. 2009 mengenai Bahasa Negara. Khususnya pada UU No. 24 Th. 2009 dibahas secara mendetail mengenai peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara di segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Maka, berdasarkan landasan-landasan tersebut, sebenarnya sudah tidak ada alasan bagi masyarakat Indonesia untuk memandang lemah dan menggeser peran bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, dan memang seharusnya kesadaran itu timbul dari masing-masing pribadi sebagai cerminan kuatnya karakter bangsa.
            Semua landasan yang kuat mengenai penggunaan bahasa Indonesia tersebut seakan menjadi sia-sia ketika kita melihat fenomena yang terjadi di lapangan justru banyak terdapat pelanggaran terhadap keharusan penggunaan bahasa Indonesia sebagai simbol identitas bangsa, hal tersebut mempersempit ruang pergerakan bahasa Indonesia di  hadapan masyarakatnya sendiri. Pelanggaran yang paling memprihatinkan adalah ketika di ruang publik, ruang yang notabennya banyak mendapat perhatian dari masyarakat baik lokal maupun asing, justru penggunaan bahasa Indonesia seakan dinomor-sekiankan. Misalnya saja, penamaan gedung, jalan, perkantoran, permukiman, lembaga usaha, lembaga pendidikan banyak menggunakan bahasa Inggris dengan tujuan gengsi dan nilai jual. Padahal, organisas atau badan usaha tersebut dimiliki dan didirikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
            Jika kita lihat, saat ini banyak nama bangunan atau gedung-gedung yang menggunakan istilah asing, yang sebenarnya jika menggunakan bahasa Indonesia akan lebih menarik. Contohnya seperti: “The Plaza Semanggi”, Jakarta Convention Center, Sudirman Tower, Jakabaring Sport Center. Sekarang, jika kita coba ubah penamaan tersebut ke penamaan dengan bahasa Indonesia, maka akan menjadi seperti berikut: “Plaza Semanggi”, “Balai Sidang Jakarta”, “Gedung Sudirman”, “Pusat Olahraga Jakabaring”. Nah, bisa kita lihat, dengan menggunakan penamaan bahasa Indonesia tidak mengurangi nilai estetika dari penamaan tersebut. Bahkan, menurut saya justru memperkuat nilai estetika dari bangunan tersebut, karena mencerminkan karakter dan pendirian yang kuat serta memiliki identitas yang jelas. Seperti penamaan “Pondok Indah Mall”, “Mall Taman Anggrek”, yang memang sudah menggunakan penamaan dengan bahasa Indonesia sejak didirikan justru memiliki keindahan dan kekuatan tersendiri, bahkan tersohor di kalangan masyarakat Indonesia dan pihak asing.
            Kemudian, selain pergeseran penggunaan bahasa Indonesia di penamaan bangunan atau gedung, kita juga kerap menjumpai pergerseran tersebut di ruang atau fasilitas publik lainnya, seperti misalnya rambu lalu lintas, papan-papan petunjuk, papan-papan peringatan, atau informasi pada produk barang dan jasa keluaran Indonesia, dan semua itu semakin memprihatinkan karena terjadi di negara Indonesia itu sendiri di mana seharusnya bahasa Indonesia dijunjung tinggi penggunaannya dan penduduk mayoritasnya adalah masyarakat Indonesia yang juga penutur bahasa Indonesia.
            Misalnya saja, jika kita lihat banyak pada rambu lalu lintas, marka jalan, papan petunjuk, papan peringatan yang menggunakan bahasa Inggris, seperti: “Be Careful!”, “Wet Floor”, “Enter-Exit”. Terkadang kita lupa bahwa tidak semua lapisan masyarakat di Indonesia bisa berbahasa asing. Sedangkan, tujuan dari rambu lalu lintas, marka jalan, papan petunjuk, dan papan peringatan itu sebenarnya adalah untuk masyarakat umum. Maka bukankah sebaiknya menggunakan bahasa yang mampu dimengerti oleh semua kalangan dan lapisan masyarakatnya? Dalam hal ini bahasa Indonesia mestinya menjadi pilihan mutlak agar semua orang bisa menikmati manfaat dari rambu lalu lintas, papan petunjuk, dan papan peringatan tersebut. Agar tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak mengerti dan justru merugikan mereka. Bukankah, jika pergeseran tersebut terus berlanjut itu sama saja dengan kita mengutamakan kepentingan warga asing dibanding dengan warga Indonesia itu sendiri? Betapa hal tersebut menunjukkan melemahnya karakter bangsa.
            Dari semua fenomena pergeseran penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik tersebut, kita bisa melihat betapa rapuhnya karakter bangsa di masa kini. Seakan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang labil, tidak memiliki keteguhan dan pendirian kuat, serta kehilangan identitas kebangsaannya, karena seperti yang kerap kita dengan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Maka perlu adanya upaya kuat untuk menata dan membangun kembali karakter bangsa bagi generasi pelapis. Selain itu, perlu adanya peraturan keras dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang sebenarnya sudah jelas diatur dalam konstitusi dan undang-undang bahasa. Oleh karena itu, saat ini yang terpenting adalah kesadaran pemerintah Indonesia dan pelaku bahasa itu sendiri untuk mengembalikan identitas bangsa lewat bahasa. Peran pemerintah itu sendiri sudah diatur dalam UU No. 24 Th. 2009, pasal 41. Untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 24 Th. 2009, khususnya pasal 36, 37, 37, dan 39 mengenai aturan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, media publik, dan informasi-informasi produk barang atau jasa.
            Keseriusan pemerintah bisa dibuktikan dengan segera mengeluarkan Peraturan Presiden menyangkut undang-undang bahasa, untuk segera dilakukan penertiban dan penataan kembali penggunaan bahasa Indonesia terutama di ruang publik. Peraturan harus diselenggarakan dengan penuh disiplin, seperti misalnya pencabutan izin mendirikan bangunan bagi yang melanggar; mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia dalam rambu lalu lintas, marka jalan, papan peringatan, dan papan petunjuk; mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia dalam informasi produk barang atau jasa. Semua itu harus dilakukan dengan keseriusan dan tindak nyata yang pasti. Karena menurut saya tujuan tersebut sangatlah positif, dan dengan begitu kita secara tidak langsung memaksa pihak asing untuk mengikuti aturan yang kita buat, sehingga mereka akan belajar lebih banyak mengenai bahasa Indonesia yang akan membuat bahasa Indonesia lebih dikenal di kalangan dunia. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka peluang menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional menjadi semakin besar.
            Selain tugas pemerintah, yang paling harus memiliki kesadaran adalah masyarakat Indonesia itu sendiri. Masyarakat Indonesia harus bisa menjadi masyarakat yang cerdas dalam menanggapi tuntutan zaman, dengan menjadi masyarakat yang cerdas namun juga memiliki identitas dan karakter bangsa yang kuat. Sehingga di manapun ia berada akan dihargai. Maka masyarakat Indonesia mestinya cerdas dalam memilah kapan dia perlu menggunakan bahasa asing dengan tetap mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia. Karena, yang membuat bahasa Indonesia lebih memiliki tempat adalah penggunanya itu sendiri. Bukankah akan menjadi hal yang membanggakan ketika bahasa Indonesia memiliki kekuatan untuk menarik warga asing mempelajarinya? Dan bukankah suatu hal yang membanggakan ketika kita tetap memiliki karakter bangsa yang kuat di tengah era perdagangan bebas dunia melalui bahasa? Menurut saya jawabannya sudah pasti “ya”.

Sabtu, 16 Februari 2013

Anak Seorang Pejuang

Aku anak seorang pejuang
Bapakku lanang dari negeri lapang

Negeri tempat orang beruang, juga terbuang

Aku anak seorang pejuang

Bapakku lanang berjiwa tenang

Guratan-guratan lembut di wajahnya, melukiskan kedinian yang telah lekang

Aku anak seorang pejuang

Bapakku lanang setegar karang

Untuk anak istri, terus ia berjuang

Melewati subuh yang masih malu-malu bertemu fajar pembawa terang

Bapakku sudah berangkat sedari kelelawar masih belum bersarang

Melangkahkan kaki kokohnya

Mencari barang bernama “uang”

Lalu petang?

Kadang Bapak masih belum pulang

Masih sudi menantang malam

Untuk anak istri, terus ia berjuang
Bapakku dengan pakaian lusuh dan rambut abu-abu
Pada malam ia pulang, dibawa sekantong makanan untuk dibagikan
Hasil sebuah perjuangan
Bapakku lusuh, bau debu bercampur peluh yang menyatu
peluh pengorbanan
Bapakku lelah, meski tak pernah ia bercerita namun jelas terbaca
Dan Bapakku bahagia
Sembari menikmati kopi hitam panas ia berkata “sudah kenyang?”
Dan kemudian kami menjawab “sudah Bapak..”
Lalu senyumnya mengembang, matanya penuh sinar ketenangan
Mungkin Bapak tidur nyenyak malam ini
Meskipun hanya makanan saat hendak berjuang saja yang ia rasakan
Tapi mungkin ia tidur tenang malam ini, karena ia sudah dengar sendiri anak istrinya bilang “kenyang”
Dan mungkin ia sudah cukup senang malam ini
Karena Bapakku adalah seorang pejuang
Pejuang, Lanang dari negeri lapang

Terinspirasi oleh :
Seorang Bapak tua lusuh yang membawa kantong kresek hitam penuh, yang saya temui di angkot pada malam hari, saat akan pulang ke rumah. Bapak tua yang melihat buah-buah duren di pinggir jalan yang kami lewati dengan begitu khusyu’nya (mungkin tanda kalau ia begitu ingin membelinya).. Bapak tua yang saya temui pada malam saya menghindari kepenatan (25/05/2010)..
Dan terima kasih kepada Bapak tua yang tidak saya ketahui namanya.

Jakarta, 26 Mei 2010

Untuk yang tersakiti dari kesakitan 'akasia itu': 'angin'

Sekarang hilang..

Akasia itu memang bertahan di setiap musim
Di setiap unsur yang melewatinya
Tapi sekarang hilang, ada yang hilang
Gersang, lembab meradang, telah lama tak dijumpanya sang angin dan Akasia memang merindukannya, merindukan sepoynya yang dulu tak ia pahami
Rasanya ad kesalahan besar, bahkan akasia itu pun menjadi layu kala mengingatnya, layu kala melihat sang angin pergi hanya membawa debudebu kehampaan
Akasia sendiri hanya bisa diam tak tau harus apa
Hanya saja akasia itu begitu layu melihat luka sang angin
Ada kelopak yg terkikis, jatuh tanda kedukaan
Dan lantas akasia seperti berbisik "oh angin sekuat itukah ingin pergi? Bahkan aku sendiri tak bisa menentukan. Kau benar angin, ku rasa pilihanmu tepat untuk berhembus kencang menjauh, kau pantas dapatkan sesuatu yang lebih pasti. Naasnya aku merasa aku adalah sesuatu yang tak pasti"

kini tinggal akasia itu, menyimpan kenangan lalu, kenangan yg pernah terabaikan dari kepekaannya.
Kini tinggal akasia itu, menanti jawab sang waktu.

Untuk yang tersakiti dalam kesakitan 'akasia itu' : 'a n g i n'

GA
April 2010

Cerita Malam (Inspired by: Novel "Larung")

Membalut sadar dengan kekosongan.
Terhempas roh ke luar pintu2 penghabisan.
Mulai bertarung saat seonggok daging bertulang jatuh beristirahat.
Para roh masih menari pedih, melayang layang di langit seberang, membirukan wajah yang mata batinnya menyala.
Roh bertarung, memperebutkan tiket pulang, tiket masuk kembali pintu penghabisan.
Bagai judi memperebutkan gerbang perbatasan.
Dan tentang kemenangan, 'subuh ini milik siapa'?
Kemudian sejak paginya ada keluarga yang menangis pedih, karena satu roh kalah tak kembali 

(Dinda Hn. Terinspirasi oleh 'Larung')


Jakarta, Juni 2010.

Teruntuk yang jauh di negeri seberang benua: Abang

Jika besok adalah harpa, jadilah waktu-waktu ini dawai yang siap dipetik, menjadi acak nada yang harmonis..
Agar bahagia, agar senang rasanya.

Sedang dalam waktu-waktu itu ada kisah-kisah yang bergelayut, brgantungan atau bahkan telah jatuh, gugur dan rapuh. Dan kemudian di antara yang bergantungan atau bahkan telah jatuh, gugur dan rapuh itu ada sekepal kenangan dan sekepal harapan.

Dan esokmu adalah harpa itu Abang.. 
Dalam dawaimu ada kenangan dan harapan tentang seseorang dan tentang tujuan..
Aku Abang... tidak pernah mampu membaca mati arah akalmu, sedang engkau tak pernah berada dalam rona hitam ataupun putih, sebuah abu-abu bagiku.

Sudah Abang, cukupkan hati mu dengan ketenangan, mainkan nadamu dengan keteduhan.
Tak kan habis perkara yang belum saatnya terbaca.
Basuh segala risaumu untuk setiap peluh, juga untuk wanita yang diam-diam merayu hatimu.

Terangkanlah Abang.. Terangkan wajah mu..
Lusa akan ada syahdu nada berlaga merayu-rayu..
Lusa masih ada harapan-harapan menantimu, menunggumu, untuk datang kembali dalam sekelompok hati, ataupun sekeping yang tak mati.


GA - Agustus 2010

Terbiasa

lurus, jauh, menerawang pandang..
di pinggir pantai bersalju, ataupun gunung berpasir
melangkahkan kaki ataupun mengepakkan sayap 
tajam, menikam, setiap sela layang dimensi tertangkap,
dalam merah warna udara, menghirup tajam kehampaan
NOL
dan datang menjadi SATU, LIMA, TUJUH, LIMA PULUH, BANYAK !!
lalu pergi semua bersamaan, seperti pasir yang terhuyung angin.

perlahan semua akan hilang, tapi aku sudah terbiasa, ramai lalu sepi serentak, aku sudah terbiasa, sejuk lalu senyap sekejap, aku sudah terbiasa, mengikhlaskan sejak dini atau bahkan mengusir pergi, agar keramaian tiada ada yang tersakiti, sungguh aku terbiasa, dalam episode akhir di satu alur cerita : hanya aku tokoh utama, aku terbiasa

kering, perasaan, hati, atau bagian lain yang kulupakan
sajak tentang kasih,  tak lagi berbumbu,
hambar tak dapat lidah menyentuh
kerikil, batu, semen yang mengering, menitikkan jejak-jejak keramaian,
dan kemudian hanya tertutup kumpulan debu

lalu kembali berjalan, meniti, menatap tajam ke depan,
seperti sirna warna pelangi itu, lalu kembali pada abu-abu,
lalu kembali dari keramaian, dan membatu


Kucuri Nama

Ini malam, seperti denting-denting kaca di ruang hampa tak hingga,
bunyinya nyaring tapi sepi menjadi terasa.

Ada tirai menjulur,
kainnya dari perca tertulis nama,
kainnya penuh nama, melambai-lambai menjulur di hadapan mata.

Tiba-tiba segalanya putih tiada tepi,
tiada lagi biru kejinggaan milik langit,
atau redup keabuan milik mendung.

Tiada.. Tiada tepi dalam putih

Hingga suara menggema,
suara dari oase yang berbicara,
darinya muncul huruf-huruf yang berterbangan,
bersembunyi di balik tirai perca yang menjulur tak berujung.

Huruf-huruf yang membentuk nama.

Udara pun penuh nama.

Hingga tiba masa berubah.
Mendung, cerah, dan warna mulai datang menjajah,
ruang putih tak bertepi mulai menggeser diri,
membawa ribuan dawai kebisuan,
tentang cerita yang hilang.

Pun hilang tirai perca penuh nama.
Pun hilang huruf-huruf berterbangan.
Hilang mereka bersama putih yang pergi.

Tapi tau kah para oase yang bernyanyi?
Bahwasanya telah kukantunginya sebuah nama di hati. 
Sebuah nama yang diam-diam kuambil dari tirai perca atau dari huruf-huruf yang berterbangan. 

Sebuah nama yang selalu membuatku bermimpi..
Mimpi..

hn.
jkt, 30 Apr 2011

Terdepan