Orang
yang selalu ada di samping kita, yang dekat dengan kita, adalah orang yang
paling akan merasakan perubahan yang ada pada diri kita, sekecil apapun itu.
Sekecil apapun duka yang muncul ia pasti melihatnya. Sekecil apapun bahagia
yang tersirat ia pasti menangkapnya. Sekecil apapun cinta yang tumbuh ia pasti
memahaminya, dan sekecil apapun kasih sayang yang hilang, ia pasti
merasakannya. Ia merasakannya.
****
Belakangan
hari-hariku mulai terasa menghambarkan. Entah kenapa. Seperti ada yang kurang
atau mungkin hilang. Di sini, di kota seramai ini, di pusat tak terelakan ini,
aku justru merasa hening sendiri. Suara-suara bising di sekitarku hanya terasa
sebagai hembusan angin yang sekejap pergi. Terasa sejenak lalu hilang, pergi.
Seperti merasa sendiri. Itu sungguh menyedihkan.
Aku memiliki kekasih memang. Namanya
Nod. Seorang yang sangat aku kasihi, hingga kunamakan ia kekasih. Tapi entah
apa yang sedang dilakukannya sekarang. Pesan? Aku tidak mau mengirim pesan
lagi. Tiga jam yang lalu aku sudah mengiriminya pesan. Kalau kukirimi ia pesan
lagi, bukankah itu hanya akan memperburuk keadaan? Belakangan, kami kerap
bertengkar karena ia merasa tidak terbebaskan olehku akhir-akhir ini. Kemarin
ia menelefonku dan mengabariku bahwa ia tidak bisa mengirimiku pesan singkat
sementara waktu. Karena sedang ada masalah dengan telefon genggamnya.
Lalu ia bilang ia ingin melanjutkan bermain game dan menyudahi perbincangan kami. Kenapa Nod seperti itu? kenapa ia seperti tidak mau berbincang lama denganku? Dulu ia sering menelfonku lama-lama hanya untuk mendengar suaraku katanya. Tapi kemarin, ia hanya sekadar memberi kabar padaku. Padahal sudah dua minggu ini kami tidak berbincang lama, bahkan lewat telefon. Tapi dia lebih memilih untuk melanjutkan gamenya. Hmm.
Lalu ia bilang ia ingin melanjutkan bermain game dan menyudahi perbincangan kami. Kenapa Nod seperti itu? kenapa ia seperti tidak mau berbincang lama denganku? Dulu ia sering menelfonku lama-lama hanya untuk mendengar suaraku katanya. Tapi kemarin, ia hanya sekadar memberi kabar padaku. Padahal sudah dua minggu ini kami tidak berbincang lama, bahkan lewat telefon. Tapi dia lebih memilih untuk melanjutkan gamenya. Hmm.
Aku tidak mengerti siapa yang salah. Aku
hanya merindukannya.
Dan mungkin dia tidak menyukainya. Jadi kuputuskan untuk menahan keinginanku mengiriminya pesan lagi. Aku tidak mau tampak terlalu mengkhawatirkannya. Karena mungkin dia tidak akan menyukainya. Sedangkan aku ingin hubungan di antara kami membaik lagi. Aku menyangai Nod. Aku tau dia juga melakukannya padaku. Kami sudah begitu dekat beberapa bulan ini. Menjalin kisah yang sungguh luar biasa. Ia membuatku berani untuk merasakan getaran yang selalu kuhindari. Tapi kini, aku merasa ada yang berbeda. Aku merindukan sesuatu darinya. Entah apa. Aku merindukan sesuatu darimu, Nod.
Dan mungkin dia tidak menyukainya. Jadi kuputuskan untuk menahan keinginanku mengiriminya pesan lagi. Aku tidak mau tampak terlalu mengkhawatirkannya. Karena mungkin dia tidak akan menyukainya. Sedangkan aku ingin hubungan di antara kami membaik lagi. Aku menyangai Nod. Aku tau dia juga melakukannya padaku. Kami sudah begitu dekat beberapa bulan ini. Menjalin kisah yang sungguh luar biasa. Ia membuatku berani untuk merasakan getaran yang selalu kuhindari. Tapi kini, aku merasa ada yang berbeda. Aku merindukan sesuatu darinya. Entah apa. Aku merindukan sesuatu darimu, Nod.
****
Ah, entah apa yang dipikirkan oleh
kekasihku itu. Namanya Eva. Seseorang yang sangat kukasihi, hingga kunamakan ia
kekasih. Belakangan ia tampak begitu cemas. Cemas atas diriku. Aku merasa mulai
tertekan. Mungkinkah aku berubah seperti yang ia katakan? Aku masih
memanggilnya sayang, aku masih memanggilnya Evaku, aku masih memanggilnya
perempuanku. Tunggu... untuk yang terakhir itu kurasa aku memang tidak pernah
melakukannya lagi akhir-akhir ini. Tapi itu hanya hal kecil.
Kemarin aku menelfonnya. Sebentar
memang, hanya untuk sekadar menanyakan apa kabarnya dan mengabarkan bahwa aku
tidak bisa mengiriminya sms terlebih dahulu. Aku takut dia marah. Tapi
tiba-tiba ia merasa hal itu membuatku semakin menunjukkan sikap perubahan. Aku
sudah menutup telefon baik-baik. Aku sudah mengucapkan kata-kata mesra sebelum
menutup telefon itu. Aku sudah melakukan hal-hal yang kurasa harus kulakukan.
Tapi dia masih marah. Dia merasa kecewa kembali. Lalu apa yang salah? Aku hanya
mengatakan aku ingin melanjutkan bermain game
dan apakah itu salah? Kadang pikiran wanita memang sulit dimengerti.
Eva mengirimiku pesan singkat. Semua
tentang tuduhannya atas perubahannku. Aku merasa bingung. Aku lelah. Aku tidak
mau meladeninya. Dan ia menuduh bahwa aku hanya ingin melarikan diri dari
masalah.
Tapi aku tidak sanggup membaca pesan singkatnya. Aku terlalu takut untuk membacanya. Lebih baik kupilih untuk bermain game dan mengabaikan pesan singkat itu bukan? Egois? Mungkinkah aku terlalu egois?.
Tapi aku tidak sanggup membaca pesan singkatnya. Aku terlalu takut untuk membacanya. Lebih baik kupilih untuk bermain game dan mengabaikan pesan singkat itu bukan? Egois? Mungkinkah aku terlalu egois?.
****
Angin
kota semakin berhembus tidak bersahabat. Semilirnya berubah dari lembut menjadi
sangat tajam. Eva berjalan dari tempat tidurnya menuju ke jendela. Wajahnya
merah, menggambarkan kekecewaan yang tertahan oleh keleleahan. Sisa garis air
mata yang mengering menjadi ornamen penguat raut gelisahnya. Dibukanya gorden
jendela kamar yang hampir seharian ini tertutup. Kemudian ia melihat dari balik
jendela itu, ranting-ranting pohon yang bergoyang, kertas-kertas yang
berterbangan, langit yang semakin menebarkan tudungnya. Bintang yang
menyembunyikan terangnya. Tidak ada euforia kehidupan di luar sana. Gelap,
mendung, dan sepi. Seperti hatinya kini.
Eva membuka jendela. Tiba-tiba hembusan
angin malam yang sedang tak bersahabat itu menerpa wajah dan tubuhnya. Terasa
kencang sekali. Dingin yang menyakitkan. Membuat perasaannya yang perih
bertambah perih. Sedingin inikah dunianya saat ini? pikirnya. Tiba-tiba setetes
air jatuh dari matanya yang redup. Terbawa angin dan melebur bersama udara
malam yang dingin. Terus terbawa hingga ke atap langit kota itu. Melebur
bersama mendung yang terus mengepung.
Terlalu dingin, terlalu menyakitkan
untuk tetap merasakan angin malam kota ini yang sedang tak bersahabat. Menatap
goyangan ranting-ranting pohon hanya menambah kepedihan atas perasaannya yang sedang tergoyah. Ia menutup
kembali jendela kamarnya. Menutup kembali gorden jendela itu. Hingga tak lagi
tampak ranting-ranting pohon yang bergoyang. Ia kembali ke tempat tidurnya.
Tempat sebuah kertas tergeletak di sana.
Eva menatap telefon genggamnya sekali
lagi. Diperhatikannya dengan seksama. Belum juga ada kabar dari kekasihnya,
Nod. Sedang di manakah ia? Sudah sampaikah ia di rumahnya? Eva ingin sekali
menanyakannya sekali lagi. Tapi ia takut. Ia takut Nod justru merasa risih
dengan pesan itu. Karena kemarin mereka habis bertengkar hebat. Pertengkaran
yang membuat Eva kadang merasa ia sudah tidak terlalu berharga untuk Nod. Kali
ini Eva hanya sungguh ingin mengetahui keberadaan Nod. Ia sungguh khawatir.
Terakhir Nod mengabarkan akan melakukan perjalanan yang cukup jauh. Dan kini
sudah hampir empat jam berlalu, tapi Nod tak memberinya kabar lagi sedikitupun.
Eva gelisah memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia merebahkan dirinya yang
lelah. Sambil ditemani lagu yang ia nyanyikan sendiri, Ia terus menunggu Nod.
Menunggu sebuah pesan singkat yang dikirim Nod.
****
Nod singgah di sebuah tempat makan.
Perutnya keroncongan, angin yang teramat dingin membuat ia semakin merasa harus
menghentikan motornya di sebuah tempat makan. Sambil menunggu pesanannya, Nod
menyalakan telefon genggam yang sengaja ia matikan tadi karena batrenya sudah
hampir habis. Ia sengaja melakukannya agar sewaktu dibutuhkan bisa memberikan
kabar pada Eva, kekasihnya. Agar Eva tidak kecewa.
Dikirimnya sebuah pesan singkat kepada
Eva. Memberitahukan keberadaannya saat ini yang sudah hampir sampai dan sedang
mengisi perutnya yang keroncongan terlebih dahulu. Eva yang sedang bernyanyi
sendu begitu bersemangat ketika merasakan getar dari telefon genggamnya.
“Nod!”, katanya tersenyum. Ia lega mengetahui keberadaan Nod. Ia segera
membalas pesan singkat Nod. Eva tidak mau melewatkan momen ketika Nod
mengiriminya pesan singkat. Karena baginya di situ adalah kesempatannya untuk
menanyakan kabar Nod.
Nod sedikit takut membuka pesan singkat
dari Eva. Ia takut isinya adalah bentuk kekecewaan Eva, karena Nod baru
mengabarinya sekarang. Tapi betapa lega hatinya ketika membaca pesan singkat
yang dikirim kekasihnya itu. Isinya adalah sebuah pertanyaan-pertanyaan ringan
dan sedikit saran agar ia lekas beristirahat. Tiba-tiba Nod merasa sedih. Dalam
hati Nod bertanya, “Mungkinkah memang ia yang berubah akhir-akhir ini?”.
****
Akhirnya setelah empat jam menunggu, di
saat malam sudah begitu larut dan sudah membuatku semakin gelisah, Nod
mengirimiku sebuah pesan singkat. Betapa bahagianya aku. Betapa leganya hatiku
mengetahui ia baik-baik saja. Ia bilang tadi ia sengaja mematikan telefon
genggamnya agar bisa mengabariku sewaktu dibutuhkan. Aku merasa senang.
Walaupun kupikir kenapa sebelum mematikan telefon genggam itu Nod tidak
memberitahuku terlebih dahulu? Tapi... ah sudahlah. Aku sudah cukup senang
mendapat kabar darinya. Sebenarnya banyak hal yang ingin kutanyakan dari Nod.
Tapi ia selalu mengatakan ia sangat lelah sekali melakukan perjalanan jauh itu.
Jadi aku berusaha untuk tidak egois. Aku takut Nod merasa aku egois lagi.
Kusarankan saja ia untuk segera beristirahat. Aku memang sedang sangat
merinduinya. Tapi aku tidak ingin jika memaksakan rinduku terbalaskan hanya
akan membuat luka di hubungan kami. Aku tidak ingin Nod semakin terasa jauh.
Sudah satu jam berlalu, tak ada balasan
lagi dari Nod. Mungkin ia sudah beristirahat sekarang. Biarlah, dia mungkin terlampau
lelah.
****
Aku senang dengan sikap Eva malam ini.
Membuatku merasa nyaman kembali. Tapi entah kenapa aku masih merasa ada yang
berbeda. Apa dia masih menyimpan sesuatu tentang perasaannya atas diriku? Apa
dia masih kecewa padaku? Eva kekasihku, entah ada apa dengan hubungan kita
belakangan ini. Terasa mendung begitu menyelimuti. Jam sudah menunjukkan pukul
23.00, aku segera kembali menuju rumah yang sudah tidak jauh dari tempat makan
yang kusinggahi ini. Sesampainya di rumah aku akan segera menelefon Eva untuk
mengabarinya. Aku berjanji.
****
Nod melajukan motornya menuju rumah. Di
perjalanan, tiba-tiba ia kembali mengingat masa-masa pertama ia bertemu Eva.
Masa-masa ia ingin menjadikan Eva sebagai kekasihnya. Mungkin betul yang Eva
katakan, ia memang merindukan masa-masa Nod begitu bersemangat membuat Eva
tampak spesial, untuk membuat Eva juga mencintainya. Mungkin kini setelah
mendapatkan Eva, ia lupa bahwa Eva masih butuh hal-hal kecil yang membuatnya
mampu mampu menyangin Nod seperti saat ini. Nod tiba-tiba merasa harus ada yang
diperbaiki. Ia tidak ingin cintanya tidak berwujud. Ia tidak ingin hubungannya
dengan Eva semakin menurun.
Saat sedang melajukan motornya di
tikungan, sebuah bus besar menyalip motor Nod, dan membuatnya kehilangan
kendali. Nod kaget, ia membanting motornya ke arah kiri jalan dan menabrak
sebuah tembok beton, setelah sebelumnya sempat menabrak sebuah pohon yang
rantingnya bergoyang-goyang tertiup angin malam. Di tengah kesadarannya, wajah
Eva yang sedang menangis terus terbayang. “Ev...”, katanya sebelum akhirnya ia
tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, Eva yang mendapat
kabar buruk itu dari ibu Nod segera memacu motornya menuju rumah sakit tempat
Nod dirawat. Eva tidak menyangka. Padahal semalam Nod mengabarkan ia baik-baik saja,
padahal Nod sudah dekat dengan rumahnya. Padahal ... Tapi sekarang ia mendapati
kabar Nod yang sudah berada di ruang UGD. Sepanjang perjalanan Eva menangis.
Mungkinkah ini sebab mengapa ia belakangan ini begitu khawatir pada Nod?
Mungkinkah ini sebab mengapa ia begitu merindukan Nod? Mungkinkah ini sebab
mengapa belakangan perasaannya menjadi aneh? Pertanyaan-pertanyaan itu terus
menderas memenuhi pikiran Eva. Eva terus memacu laju kendaraannya. Ia ingin
segera bertemu dengan Nod. Ia ingin memeluk Nod, menyemangati Nod, mengatakan
pada Nod bahwa ia sangat menyayanginya. Eva terus memacu kendaraannya kencang,
bersama dengan air mata yang jatuh berterbangan.
****
Satu hari sudah berlalu sejak Nod
siuman. Tapi ia heran mengapa Eva tak kunjung datang. Apakah Eva tidak tau apa
yang terjadi? Apakah ia marah pada Nod? Kemudia Nod meminta ibunya untuk
mengambilkan telefon genggam miliknya.
“Aku
ingin memberi kabar pada Eva, Bu.”
“Ibu
sudah mengabarinya sejak dua hari yang lalu, Nod. Eva bilang ia akan segera ke
sini.”
“Sudah?
Kenapa Eva belum juga datang, Bu?”
“Entahlah..
Ibu juga bingung. Mungkin Eva masih ada urusan penting.”
“Eva..”,
Nod tampak begitu kecewa. “Apa di saat seperti ini kau masih ingin membalasku
atas kekecewaanmu?”
Nod
melihat ke arah jendela kamar rumah sakit. Hari semakin senja dan tua. Tapi Eva
tak kunjung tiba. Ia terus berusaha menghubungi Eva, tapi tak ada jawaban.
Nomornya tak bisa dihubungi. Nod sudah hampir putus asa, ketika seorang teman Eva
menjenguknya. “Mana Eva?”, kata Nod bersemangat. “Ini surat milik Eva, Nod.
Kutemukan di tempat tidurnya. Eva telah tiada. Ia kecelakaan, Nod.”. Nod tampak
begitu terpukul. Air matanya mulai menetes perlahan. Tapi wajahnya masih beku
seakan tak percaya. Dibukanya surat yang tak pernah terkirim itu. Surat yang
Eva tulis untuk Nod. Surat yang tersimpan.
----------
Kepada yang tersayang.
Kekasihku,
Nod.
Hai Nod.. entah mengapa belakangan ini
aku merasa begitu merindukanmu. Semua kenangan masa-masa kita pertama bertemu
seakan terus menjadi film yang terputar otomatis di otakku. Nod, aku merindukan
sesuatu dari dirimu. Yang kurasa hilang. Sesuatu yang sangat kuharapkan akan
kembali. Entahlah Nod, aku merasa hubungan kita belakangan terasa ganjil. Aku
merasa ada yang hilang dari dirimu. Aku merindukanmu yang dulu Nod. Aku
merindukan sikapmu yang mampu membuatku jatuh cinta padamu.
Nod, aku ingin melihat kembali kekasihku
yang selalu bersemangat mencintaiku. Selalu menginginkanku, selalu menjadi
seseorang yang khas di hatiku. Aku menginginkanmu Nod. Aku menginginkan
kejujuran dan keikhlasanmu dalam menyayangiku, yang selalu terpancar dari mata
dan sikapmu.
Nodku sayang, mungkin ini hanya
perasaaku, tapi entah mengapa aku merasa kita sangat jauh belakangan ini. Kau
merasa tidak nyaman dengan sikapku? Aku sedih Nod, sebagai seorang kekasih aku
merasa gagal. Aku bisa merasakannya dari caramu yang sudah tidak begitu
mempertahankanku. Aku harap hubungan ini bisa baik kembali seperti sedia kala.
Aku tidak ingin ada yang pergi. Tapi, sekali lagi itu adalah sebuah harapan.
Entah bagaimana akhirnya. Terlebih aku tidak tahu apakah kau masih berharap
yang sama sepertiku atau tidak.
Nod, entah surat ini akan terkirim dan
terbaca olehmu atau tidak. Karena aku tidak pernah berniat untuk mengirimnya.
Aku takut Nod. Takut jika kau membacanya, kau akan marah, kau akan salah paham,
kau akan berpikir yang bukan-bukan. Aku takut kau merasa tidak nyaman. Jadi
biarlah surat ini kusimpan untukku sendiri. Surat yang tak akan pernah kukirim
pada orang yang seharusnya menerimanya. Kau, Nodku sayang.
Tak
apa-apa Nod, biar kusimpan surat ini dengan baik. Sebagai tanda aku pernah
merasa sangat kehilanganmu, padahal aku memilikimu.
Salam penuh cinta
dari yang selalu merindukanmu,
Eva.
----------
Air mata Nod tak terbendung lagi. Segera ia buka pesan
singkat terakhir Eva yang berisi Istirahat
lah Nod, kau tampak begitu lelah. Tidak usah memaksakan untuk menemaniku.
Nod mulai merasakan apa yang dirasakan Eva. Ia mengerti memang ada yang hilang
dari dirinya untuk Eva. Kemudian Nod mengetik sebuah pesan singkat Aku sangat amat mencintaimu, Eva.
Dikirimnya pesan singkat itu ke kontak nama yang bertuliskan KEKASIH.
Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar