Selasa, 01 Oktober 2013

Catatan Pe(r)temuan 2

Kita tidak bisa menepikan segala waktu yang disediakan Tuhan
Kemudian pintapinta seakan menjerit menyebut engkau
Debaran telah tersisa dari pertemuan sebelumnya
Mata, cahaya, sukma

Ada yang merdu di  luangluang kalbu
Kuisi dengan lantun doa, dan terselipnya namamu
Tak terduga
Tak terbata

...

Kita tak pernah bisa menepikan waktu yang disediakan Tuhan
Aku tak bisa
Kau pun serupa

Selaras rindu yang tak tersebut
Jumpa itu kian datang dan menasbihkan getaran lembut
Terang memagut

Siapakah engkau?
yang membawa rindang di hamparan padang gersang

Siapakah engkau?
yang melabuhkan keteduhan dalam kerap pertemuan tak terkirakan

Siapakah engkau?
yang menyebut nama dengan senyum di mata cahaya

...

Tuhan,
siapakah dia?
yang kutulis sebait kata dalam kitabnya: terimakasih, terima.
 




Rawajati, Akhir Agustus 2013.

Catatan Pe(r)temuan 1


Pertama kali aku berdebar adalah ketika magrib itu membawamu padaku. 
Dengan senyum yang belakangan seringkali kudapati.
Magrib itu, ragamu tepat di hadapanku, antara kita meja yang membatasi langkah pandang.
Seakan menjawab semua keanehan yang datang malam sebelumnya, saat tetiba dirimu begitu saja masuk ke pikiranku.
Lalu apa yang harus aku terjemahkan?
Hanya bisa menunduk, tak mampu membaca matamu yang bercahaya.

Perasaan?
Bahkan aku tak sekalipun memikirkan -setidaknya sebelumnya- dan kurasa kau pun begitu.
Tapi aku berdebar, sesaat menjadi naif, sesaat lagi menjadi hilang arah, sesaat lagi menjadi diriku kembali. 
Ya, diriku kembali, ketika aku kehilangan katakata yang bahkan tak pernah kupersiapkan untukmu.

Sesekali tersibak dari batinku, mengapa kemudian kita bertemu?
Sedekat ini?
Padahal tak sampai hendakku berhirau-sapa. Bahkan kuenggan menebar kata.
Dirimu begitu kamuflase, begitu bergaya prestise -setidaknya pikirku-.
Tapi siapa  mengira, telah tiba masa kita bercakap, begitu akrab.
Bercerita tentang dirimu tanpa kesengajaan, engkau begitu lepas meski malumalu.
Bergurau-canda, mencair suasana.
Seiring itu pula mencair ke-angkuhanku.
Ada yang tak pernah kutemu dalam dirimu.
Kukira iman membawamu dalam kejauhan, namun rasanya -harus kuakui- begitu menghangatkan.
Nyatanya, sesuatu membawa kita pada keharusan bertegur sapa.

Tak pernah terpikir sebelumnya, sebuah kebaikan dan keindahan sikap, meluluhkan angkuh yang kudinginkan selama ini.
Aku bahkan tak lagi memiliki alasan untuk tidak mengakrab denganmu.

Semasa aku sadari,
ada garis yang memang sudah terlukis,
sekiranya tentang pertemuan yang rasanya memang tak pernah siasia.

Masih pada magrib itu,
hamparan kurmakurma,
kupilihkan satu dan berkata: semanis inikah imanmu melantahkan egoku?

Salam.


Rawajati, Agustus 2013

Terdepan