Rabu, 15 Juni 2011

S U R A T [short story]

hayyaaa this is it, the short story! lets read it with your fav. coffee and little slowly music.. check it out :)

| S U R A T |

Tanganku bergetar saat membuka sebuah surat usang. Surat yang membawa banyak kenyataan. Surat yang ternyata aku rindukan. Surat yang menggiringku pada jawaban tentang sebuah kebenaran.


*****

Untukmu, dariku

Mungkin bagi sebagian orang, pertemuan adalah sesuatu yang biasa. Tapi tidak bagiku. Kita memang bisa bicara tentang merubah nasib. Tapi pertemuan adalah sebuah takdir.
Apakah Tuhan akan menggariskan sesuatu yang sia-sia?
Para orang tua berkata, Tuhan tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Maka Tuhan tidak pernah menciptakan aku, kamu, kita dengan sia-sia. Tuhan juga tidak menciptakan pertemuan kita secara sia-sia. Kau tahu maksudku bukan?  Hingga akhirnya kumulai semuanya dari pertemuan yang tidak pernah kita duga, yang tak akan sia-sia.
Kita kerap berpapasan. Di lorong-lorong, di kantin, di jalan, di sela-sela waktu yang menghantar kau padaku, di sela-sela sunyi yang menyusup kala mata kita bertemu.
Kita sering bertemu, sedikit mencari pandang. Saat kautanya aku di toko buku itu, tapi kita tidak mengenal, kita hanya saling melihat, dan pergi... Tahukah kamu, kala itulah kita menumbuhkan sebuah afinitas di alam ketaksadaran kita. Entah denganmu, tentunya iya untukku. Tapi aku yakin alam ketaksadaranmu juga menanamkan itu. Jadi kau tahu maksudku bukan? Pertemuan yang berkali-kali itu membuatku berharap pada takdir untuk memainkan perannya dengan baik.
Hmm mengenai kata para orang tua tentang tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Menurutku, perasaan yang kita miliki juga tidak sia-sia. Nafas kita juga tidak sia-sia. Secara tidak sadar kita saling mengirimkan getar, itulah yang pasti dirasakan oleh setiap yang berafinitas. Getar dari molekul-molekul yang merambat, yang dikirimkan oleh perasaan melalui nafas dan udara yang membawanya. Yang mengikat perasaan kita hingga seakan saling tarik menarik. Hingga aku bisa merasakan kegelisahanmu, dan aku tahu, kau juga merasakan debaranku. Aku yakin itu! Dari matamu, tingkahmu, jabatan tanganmu, senyumanmu. Aku yakin, Pria..
Pernahkah kau mengetahui soal bahasa tubuh?
Dan aku melihat itu darimu, dari sinar-sinar di matamu yang meloncat-loncat dalam redup, seakan ingin mengajakku bersikap lebih banyak. Tapi kita diam, kita merepresi semua keinginan itu. Ada hal lain yang lebih perlu kita jaga di dunia realistis ini.
Ya.. kita akhirnya merepresi keinginan itu. Aku dan kamu akhirnya melupakan sapaan “hai, kita sering bertemu sebelumnya bukan?”“hai, bukankah kau yang di toko buku itu kemarin?”, “hai, sepertinya aku sering melihatmu”,  atau sapaan lainnya. Kita masih sadar kita tidak hanya berdua di area ini, di waktu ini.
Kau perlu tahu, aku tidak pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya. Aku percaya pada afinitas. Tapi aku belum pernah merasakan afinitas itu. Hingga akhirnya aku melihatmu, satu kali, dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali, yang menghantar kita pada pertemuan tak terduga. Maka pada akhirnya dapat kutahu siapa namamu. Dan kuucapkan namaku dengan suara seindah mungkin yang kubisa. Karena aku takut tidak akan pernah bisa melakukannya lagi.
Sesuatu yang indah. Kita berjumpa di suatu siang, di antara banyak hal yang menyelimuti. Kita berjarak dua sisi, tapi banyak hal yang tidak bisa kita bagi. Kita tidak hanya berdua di wilayah ini, sayang sekali.
Tahukah kau? Aku sesekali menangkap matamu yang sedang mencariku dalam kediaman kita. Mungkin juga kaudapati aku seperti itu, mencarimu di tengah kediaman yang melanda dunia kita.
Kauingat saat luang menghampiri kita? Kita hanya saling terdiam, tapi afinitas kita bekerja semakin kencang. Aku bergidik, hingga akhirnya aku menunduk. Aku takut, takut mencintaimu di waktu dan keadaan yang salah. Aku berusaha merepresi perasaanku lebih keras. Sangat keras. Hingga luang yang begitu singkat menjadi terasa sangat lama. Menimbulkan sedikit sesak di dadaku. Sempat aku menusuk waktu dengan satu pertanyaan tajam, “hai waktu! mengapa kau tidak memihak padaku, pada kami?!”.. hah bodohnya aku.
Pria, ini adalah tentang perasaan. Kita sudah takut melawan keetisan, tapi kita tidak perlu takut mengakui perasaan ini, setidaknya hanya di antara kita. Bukan perasaan kita yang salah, bukan juga waktu dan keadaan yang terlambat yang salah. Bahkan hal-hal lain yang mendesak kita juga tidak bersalah.
Kau bingung, Pria?
Baiklah, aku tidak ingin membuatmu bingung lagi. Cukup sudah kebingungan kita ini. Sekarang kita jalani semua seperti biasa. Yaa.. mungkin kali ini kita harus berjuang lebih keras untuk menahan perasaan yang belum saatnya keluar.
Kauingat kata para orang tua tentang tidak ada sesuatu yang sia-sia? Maka aku tidak akan menjadi sesuatu yang sia-sia bagimu, begitu juga denganmu, tidak akan menjadi sesuatu yang sia-sia bagiku. Suatu saat, kita akan hadir kembali di waktu dan keadaan yang baru, yang memberikan kita kesempatan untuk menyelesaikan perjalanan panjang afinitas ini. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhirnya, tapi aku menyerahkan diri kita pada waktu, tempat Tuhan akan menempatkan kita di satu masa kembali.
Biarlah seperti itu, setujulah kau denganku. Kali ini kita tidak perlu melawan yang telah terjadi, karena pasti akan banyak darah mengucur dari sisi yang tak terlihat. Keterlambatan ini juga bagian dari permainan Tuhan bukan? Maka keterlambatan ini juga tidak akan sia-sia. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang bukan hanya ada kita berdua. Dan segala sesuatu tidak selalu mudah, tapi selalu memiliki cara untuk menyelesaikannya. Dan ini caraku Pria, menyerahkanmu kembali pada waktu.
Entah dengan siapa kau saat aku menulis surat ini, dan entah dengan siapa aku saat kau membaca surat ini. Tapi ketahuilah pria, masa yang ada sekarang mungkin memang bukan milik kita, tapi masa yang akan datang, siapa yang akan mengira?
Percayalah padaku, tidak akan ada yang sia-sia tentang apa yang telah Tuhan ciptakan. Termasuk saat Tuhan menciptakan kau, aku, dan pertemuan kita.
Sampai jumpa di masa lain!

Jakarta, Minggu di bulan Juli,
di kota dan hari yang mungkin kita akan berhadapan lagi nanti,
Gadis.

*****

Aku menangis keras saat membuka kembali surat dari Gadis, surat yang datang lewat angin yang melemparnya keras ke wajahku beberapa tahun lalu. Dan semenjak itu tak pernah lagi kujumpai dia.
Aku bingung darimana ia tahu tentang teori afinitas itu, teori ketaksadaran itu, dan teori ketak-siaan itu. Namun akhirnya tebakannya memang tepat, semua itu memang tepat. Pengecutkah  aku yang membiarkannya terlarut dalam waktu? Salahkah aku yang memperdulikan keetisan hingga aku kehilangan dia untuk beberapa lama?
Tapi dia bahkan telah mengatakan tak pernah menyalahkanku, dia mengatakan itu lewat suratnya, jauh sebelum aku melakukan hal ini, menyalahkan diriku sendiri. Dia menjawab lebih awal dari pertanyaanku. Itukah afinitas yang ia eluhkan? Ya.. kami berafinitas.
Kukira aku sudah melupakannya, tapi ia benar, aku hanya merepresinya di alam bawah sadarku. Karena ternyata secara tak sadar aku masih menyimpannya, lewat suratnya yang tetap kujaga, kusimpan. Sampai pada akhirnya kami benar-benar bertemu, seperti yang ia katakan.
Waktu benar-benar mempertemukan kami. Ia benar ketika berkata Tuhan akan mengirim kami ke suatu masa dan keadaan yang berbeda untuk menyelesaikan afinitas panjang di antara kami. Itu benar-benar terjadi 4 tahun setelah perjumpaan kami siang itu, perjumpaan yang membuatku merasakan getaran aneh di antara keterbatasan gerak kami.

-------

Kemarin, di hari ia menulis surat itu 4 tahun lalu, kami bertemu. Di sebuah rumah sakit tempat kekasihku dirawat akibat kecelakaan, aku menjumpainya. Ia hadir secara tiba-tiba, ia melewatiku dengan keadaan tubuh terbaring di atas tempat tidur dorong rumah sakit. Aku merasa sesuatu memanggilku, getaran 4 tahun lalu itu terasa kembali. Aku menatap Gadis sedang tergeletak di atas pembaringan itu menuju suatu ruangan. Aku terkejut, hingga aku memutuskan untuk mengikutinya. Kemudian langkahku terhenti di depan pintu UGD rumah sakit. Ada perasaan sesak di dadaku. Aku tertunduk. Entah aku merasakan apa saja saat itu.
Tiba-tiba seorang suster keluar dari ruangan dan bertanya padaku, “anda keluarganya?”, aku terdiam, terpaku, aku merasa masa lalu seperti menyerangku. Belum sempat aku menjawabnya, seorang lelaki berkulit sawo matang langsung masuk ke pembicaraan kami, “saya tunangannya, sus!”. Aku menengok ke arah lelaki yang berdiri satu langkah di belakangku itu, aku terkejut, dia juga terkejut. Ternyata dia temanku saat kuliah. Aku benar-benar merasa dikalahkan oleh takdir atau apalah lebih tepatnya, aku merasa takdir begitu berkuasa di sini. Bahkan aku merasa dipermainkan oleh takdir. Hah bodohnya aku!
Belum sempat lagi aku menanyakan temanku itu yang ternyata tunangan Gadis, ia sudah masuk ke dalam ruangan bersama suster. Aku benar-benar merasa diserang oleh segalah hal tentang masa lalu dan Gadis. Aku sebenarnya ingin masuk, tapi aku tidak mempunyai andil apapun. Pantaskah? Maka aku putuskan kembali berjalan menuju ruangan kekasihku, melanjutkan rencanaku untuk menjenguk kekasihku, yang tertunda.
Satu jam kemudian, tiba-tiba aku merasa gelisah, tiba-tiba keinginan untuk menjumpai Gadis begitu kuat. Dan tanpa aku sadari, kakiku telah melangkah ke arah ruangan Gadis dirawat. Seakan ada kekuatan lain yang mendorong. Itukah yang Gadis sebut dengan afinitas?
Ketika sampai di depan ruangannya, seorang suster keluar dengan wajah sedikit bingung. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, hingga akhirnya ia menangkap wajahku. Ia tersenyum lebar, segera ia menghampiriku dan bertanya, “anda yang tadi saya tanyakan, bukan? anda teman mba Gadis? ia mencari anda” , suster itu memintaku untuk menemui Gadis. Aku segera mengiyakan dan masuk ke ruangan Gadis. Di sana aku melihat tunangan Gadis sedang berdiri lesu dengan wajah murung. Aku bercakap singkat dengannya dan meminta izin untuk menemui Gadis.
Semuanya berdiri dengan jarak 1 meter dari tempat tidur Gadis. Lalu kudengar Gadis membuka matanya perlahan dan memanggilku. Aku mendekatinya.. sangat dekat dan perasaanku berdebar kembali seperti debaran yang pernah kurasakan 4 tahun yang lalu. Tak terasa aku menitihkan air mata. Menyentuh pipi gadis yang pucat. Lalu sambil tersenyum lemah, gadis berbisik padaku, “Pria, kita telah menyelesaikan afinitas panjang ini, kita telah melepas semua perasaan yang telah kita represi. Aku benar bukan? Tuhan tidak menciptkan kau, aku, dan pertemuan kita dengan sia-sia. Sekarang aku takkan takut jika harus mencintaimu karena sekarang adalah waktu dan keadaan yang benar”.
Kata-kata gadis seperti guntur yang mematikan detak jantungku. Perlahan semua menjadi gelap. Gadis menyentuh tanganku dengan tangannya yang lemah, “pergilah, berbahagialah”, ucapnya terbata-bata. Aku merasa sangat sesak, tubuhku bergetar, jantungku berdegup  kencang.  Langkahku mundur tiba-tiba beberapa langkah. Tunangan gadis yang aneh melihat keadaanku segera memegang tubuhku. Aku melepaskan tangannya untuk memberitahu aku tidak apa-apa. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya pada Gadis. kulihat mereka berbincang, entah tentang apa. Aku tak tahu mengapa tiba-tiba aku merasakan perasaan yang lebih hebat dari perasaan yang kurasakan 4 tahun lalu. Aku ingin marah, ingin teriak, ingin tertawa, ingin bahagia, ingin menangis. Aku ingin memeluk Gadis, aku tiba-tiba merasa cemburu melihat kawanku, yang juga tunangan Gadis, berbicara begitu dekat dengan Gadis. Ia tampak begitu mencintai Gadis. Aku marah, aku rindu, aku berdebar, dan berbagai perasaan lainnya. Aku lelah atas serangan perasaan-perasaan itu. Aku ingin memluk, aku ingin memeluk Gadis!
Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi. Maka segera kuhampiri gadis. Setelah sebelumnya meminta maaf pada tunangan Gadis, tanpa menunggu jawabannya, aku segera memeluk Gadis erat sambil membisikkan banyak kata maaf di telinganya. Aku juga mengatakan semua perasaanku padanya, tentang kebenaran afinitasnya. Aku mengatakan semuanya tanpa tersisa. Aku sudah tidak perduli dengan orang-orang di sekitarku. Kemudian dengan lirih gadis kembali berkata,“pergilah, berbahagialah!”, kemudian kulihat kembali senyum lemahnya yang penuh dengan keikhlasan.
Lalu dengan keadaan yang kacau, aku pergi meninggalkan ruangan itu. Aku terus berjalan cepat dan kencang meninggalkan rumah sakit, bahkan aku tak sempat kembali ke ruangan kekasihku.
Keesokan harinya, saat aku kembali menjenguk kekasihku, aku bertemu kawanku, yang juga tunangan Gadis.  Kami akhirnya memutuskan untuk bercakap-cakap sebentar. Ia memberitahuku, Gadis telah meninggal 30 menit setelah aku pergi dari ruangannya. Aku merasa sangat terpukul mendengarnya. Aku bahkan belum merasa melakukan apa-apa untuk Gadis. Baru saja hari ini aku berpikir untuk menghibur Gadis, mencoba membuat hubungan yang lebih baik setidaknya.
Lama kami terjebak dalam diam. Kediaman itu mungkin adalah mengenang gadis dengan bayangan kami masing-masing.
Kemudian kawanku itu berpamitan untuk pergi mengurus administrasi rumah sakit. Namun sebelum pergi ia memberitahuku sesuatu, “sebelum meninggal gadis memintaku menyampaikan kalimat ini padamu: - terimakasih telah menyimpan suratku -. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi kurasa kau lebih paham”, kemudian ia memberikan alamat tempat pemakaman gadis, ia bilang mungkin aku akan membutuhkannya.
Dari mana gadis tahu aku menyimpan suratnya? Bahkan aku baru ingat kalau aku masih menyimpannya. Inikah afinitas itu? Ya Tuhan... tiba-tiba aku merasa seperti orang yang sangat bodoh. Semua perasaan yang ternyata tersimpan di alam ketaksadaranku, kini mencuat, meluap membanjiri alam sadarku.
Setelah pertemuan itu, aku segera melaju ke rumah. Kucari surat gadis yang ditulisnya 4 tahun lalu, di hari yang sama dengan hari kepergiannya. Segera kuambil surat itu dari tumpukkan buku-buku lama bekas kuliah dulu. Kuciumi aroma keusangannya, aroma yang menghantarkanku pada pertemuan di siang itu. Pertemuan saat pertama kali kujabat tangan Gadis yang membuat jantungku merasakan sesuatu.
Setelah beberapa saat terlarut, aku segera memacu motorku ke tempat pemakaman gadis. Sepanjang perjalanan, kenangan tentang gadis terus menyerang perasaanku. Ya.. kami berafinitas! Kami berafinitas! Berafinitas!

------

Di sini aku terdiam. Satu jengkal dari tanah yang masih merah dan basah, tempat sebuah cinta yang pernah ada tertimbun di dalamnya. Di tempat ini kubuka kembali surat yang membuat air mataku tak berhenti mengalir membasahi tanah merah milik Gadis. Di tempat ini kuikrarkan Gadis sebagai sosok yang pernah mencintaiku dan kucintai lewat alam ketaksadaran kami. Di tempat ini aku mengambil Gadis dari waktu, dan menyerahkannya kembali pada Tuhan. Akhirnya aku juga berterimakasih pada Tuhan, atas segala kesempatan yang ia berikan. Gadis menepati janjinya, ia tak pernah menjadi hal yang sia-sia untukku, dan dia tak pernah menyia-nyiakanku. Seperti Tuhan yang tak pernah menyia-nyiakan kami.
Sungguh, ada cinta untukmu Gadis.
Maaf.

*****

Jakarta, 14 Juni 2011
Untuk yang menyesali pertemuan, percayalah tidak ada pertemuan yang sia-sia,
@dindahn

Terdepan