“HAMPA” : WUJUD KEGELISAHAN SANG MAESTRO PENYAIR
Sebuah Artikel Analisis Lapis Makna Puisi HAMPA
Karya Chairil Anwar
Mengupas lapisan makna dalam tubuh puisi,
tentunya tidak bisa terlepas dari faktor ekstrinsiknya. Dalam hal ini, sejarah
mengenai terciptanya puisi tersebut serta sang pengarang itu sendiri menjadi
penting untuk membangun spekulasi makna yang akan dimunculkan. Setelah mengetahui
asal-usul tersebut, maka bisa terbayanglah apa yang terkandung dalam tiap bait
puisi yang dicipta. Semua tentu berkaitan dengan emosional pengarang, baik
secara pribadi maupun emosional akibat rasa empati pengarang terhadap
sekitarnya.
HAMPA
kepada Sri
Sepi di
luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku
pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke
puncak . Sepi memagut,
Tak satu
kuasa melepas-renggut
Segala
menanti. Menanti. Menanti
Sepi.
Tambah ini
menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung
pundak
Sampai
binasa segala. Belum apa-apa
Udara
bertuba. Setan bertempik
Ini sepi
terus ada. Dan tiada
HAMPA – merupakan salah satu puisi karya sang
maestro penyair angkatan ’45, Chairil Anwar. Chairil Anwar memulai kiprah
kepenyairannya secara aktif dan terpublis sejak tahun 1942 s.d. 1947. Puisi
HAMPA ini dibuatnya pada tahun 1943. Ada kata kunci utama dari puisi HAMPA ini,
yaitu setelah judul, sebelum bait pertama. Chairil mengawali puisinya dengan
tulisan ‘kepada Sri’. Maka,
penafsiran pertama mengacu pada Sri. Siapakah Sri?
Sri adalah wanita pemimpin redaksi dari salah
satu majalah kebudayaan di tahun-tahun awal nama Chairil muncul di kalangan
sastrawan dan budayawan. Dalam sumber buku AKU karangan Sjuman Djaya yang
disusun berdasar pengalaman hidup Chairil, Sri pertama kali bertemu Chairil
dalam satu pertemuan para pemimpin redaksi majalah kebudayaan. Sri sedang
membaca puisi saat Chairi datang. Diketahui, Sri memang wanita yang memiliki
pesona tersendiri dan lemah lembut. Melihat sifat Chairil yang juga “mudah
terpikat”, maka tidak heran jika akhirnya Chairil membuat sebuah puisi untuk
Sri. Karena ia memang kerap mengabadikan wanita-wanita yang berkesan di
ingatannya dalam bentuk puisi.
Bait pertama, larik pertama puisi HAMPA diawali
dengan kata ‘sepi’, yang kemudian
kata ‘sepi’ ini ternyata menjadi kata
kunci berikutnya. Pada bait pertama kata ‘sepi’
menguasai isi tubuh puisi. Menggambarkan bagaimana kekosongan perasaan Chairil
saat itu, seperti yang sudah jelas terlukis sejak penjudulan puisi, HAMPA.
Sepi di
luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku
pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke
puncak . Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Larik-larik di atas menggambarkan suasana sepi
yang teramat sangat. Sepi yang tadinya hanya di luar sampai masuk hingga
menekan, mendesak ke dalam, seakan teramat besar dan berat sepi itu. Bahkan
sepi yang teramat sangat itu digambarkan Chairil hingga pepohonan saja tidak
bergerak sedikit pun, sampai ke puncak pohon. Tidak ada angin semilir yang bisa
membuat suara gesekan daun. Keadaan teramat sepi. Hingga sepi itu memagut,
seakan menggigit atau memeluk dengan erat dan tak satu pun yang kuasa untuk
terhindar dari sepi itu atau bahkan menolong seseorang untuk terhindar dari
sepi itu.
Segala
menanti. Menanti. Menanti
Sepi.
Larik di atas bisa menggambarkan bentuk kekesalan
Chairil atas penantian-penantian yang dilakukannya terhadap wanita yang
dimaksudnya dalam puisi ini. Dan juga bisa menunjukkan keputus-asaan Chairil
dengan perasaannya, yang akhirnya hanya akan berujung pada sepi.
Tambah ini
menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung pundak
Lewat larik di atas, Chairil merasakan sebuah
penantian atas wanitanya yang semakin lama semakin membuat perasaannya sulit.
Memberatkan pikirannya, menjadi beban bagi dirinya (seperti ada beban di pundak
yang sangat berat, hingga pundak mencengkung menahan beban itu).
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Larik di atas seolah mengungkapkan, akibat
terlalu sulitnya perasaan yang Chairil rasakan, dan hanya sepi yang menjadi
jawaban, maka perasaan itu menjadi binasa, putus asa, kosong, hampa. Belum ada
hasil yang ia dapati dari rasanya pada sang wanita, entah itu rasa ingin memiliki,
atau sekadar kerinduan, namun kehampaan yang teramat yang ia rasakan, membuat
segala harapan seakan binasa.
Udara
bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan tiada
Udara
bertuba. Setan bertempik – menggambarkan suasana yang sudah sangat tidak nyaman.
Udara seakan menjadi penuh racun, sesak, dan setan-setan bersorak riuh,
berteriak, membuat suasana semakin kacau. Seakan menjadi gelap. Keadaan hampa
yang digambarkan Chairil begitu dalam, sunyi, dan suram. Ini sepi terus ada. Dan tiada – sepi itu tak kunjung hilang, bahkan
Chairil berpikir, hidupnya memang terkukung sepi, sepi itu terus ada hingga
menjadi kebiasaan, dan seakan tiada sepi. Karena memang sepi sudah menjadi
bagian darinya. Seperti sudah pasrah terbiasa.
****
Dari keseluruhan analisis tubuh puisi HAMPA,
jelas puisi ini menggambarkan sebuah kedukaan perasaan seseorang yang tertimpa
sepi dalam segala penantiannya. Kekosongan hatinya yang ia rasakan begitu
sangat, dan terlebih ketika ia teringat pada wanita yang disukainya. Seakan
kehampaan itu semakin menjadi-jadi karena tidak bisa memiliki wanita itu. Bisa
jadi, seperti menggambarkan juga tentang cinta sepihak. Dan pada akhirnya ia
hanya akan menjadi biasa dengan sepi yang terus ada itu.
Lewat puisi HAMPA ini, Chairil begitu dalam menggambarkan
bentuk kesepian, kehampaan yang ia rasakan. Bentuk kerinduan yang sunyi
terhadap Sri. Dan perlu diketahui, memang saat menulis puisi ini, Chairil
sedang menaruh hati pada Sri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar