Minggu, 10 Oktober 2010

Soempah Pemoeda oh Sumpah Pemuda

SOEMPAH PEMOEDA
Satoe    : Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Air Indonesia
Doea     : Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia
Tiga   : Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia
Djakarta, 28 Oktober 1928
 


Rasanya bangga sekali menjadi pemuda / pemudi yang turut mencetuskan sumpah pemuda yang lahir pada bulan Oktober, 82 tahun yang silam itu. Betapa kata-kata sederhana yang tersusun, begitu memiliki makna yang dalam, yang akhirnya terus menjadi dorongan bagi kemerdekaan Bangsa mereka yang tercinta 17 tahun kemudian, setelah deklarasi ‘soempah pemoeda’ itu dicetuskan. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana para pemuda / pemudi kembali ikut berkontribusi dalam lahirnya kemerdekaan Bangsa mereka tanpa predikat hadiah dari bangsa manapun.
Hari ini, hari dimana saya sedang menulis artikel ini, adalah hari yang menjadi bagian dari bulan bersejarah, terutama bagi para pemuda.
INGATKAH MEREKA TERHADAP BULAN INI ?
INGATKAH MEREKA BETAPA BESARNYA MAKNA BULAN INI ?
Kalau kita mau menengok kembali pada Oktober 1928 silam, betapa kita patut bangga atas apa yang pernah lahir pada bulan tersebut. Sumpah yang lahir dari Bangsa yang belum merdeka, bangsa yang masih 17 tahun lamanya menunggu deklarasi kemerdekaan yang dicetuskan oleh Bapak Proklamator (Bung Karno). Bahkan pada saat itu, meskipun Indonesia masih belum mendapat pengakuan atas kemerdekaannya, para pemuda sudah berani mencetuskan dan menunjukkan rasa persatuan mereka dengan menjadikan BAHASA INDONESIA sebagai bahasa pemersatu, sebagai bahasa persatuan, dan bersedia menjunjung tinggi Bahasa Indonesia. Dan itu terjadi 17 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah : APA YANG TERJADI SEKARANG ? YANG TERJADI SETELAH 65 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA ?  apakah perlu dicetuskan “deklarasi sumpah pemuda kedua?”.
Miris sekali, kemajuan global memangkas habis idialisme bangsa dalam diri setiap pemuda. Jarum jam moderenisasi tidak serta merta diiringi jarum detik kecintaan terhadap bangsa. Padahal jarum detik itulah yang mustinya menjadi cikal bakal pencitraan bangsa agar tidak luput dari globalisasi dan pandangan mata dunia.
Apakah harus mengabaikan budaya ‘Ibu’ku, jika aku ingin mengenal budaya ‘Ibu’mu ?

Dalam Rangka BULAN BAHASA bagian 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terdepan