Minggu, 17 Oktober 2010

Perjalanan #1

Di Dalam Angkot Biru

Kadang aku suka berpikir, sangat senang memikirkan, ketika aku menikmati jalanku, ketika melewati kehidupan-kehidupan yang ku hadapi, ketika dalam perjalanan aku sangat senang mengamati, mencobo menilik tanpa mengusik kehidupan yang sedang ku lihat, untuk memperkirakan sisi yang tak ku lihat dari kehidupan itu.
Seperti pada pagi itu, seperti biasa dengan sebuah angkot biru salah satu saranaku menuju kampus. Panjang perjalanan yang ku lalui, membuatku banyak menghasilkan pertanyaan-pertanyaan, menghasilkan banyak angan-angan. Melihat wajah-wajah saudaraku satu per satu. Melihat jalanan yang semakin tua dan kering, melihat bangunan yang seperti berteriak atas kelelahannya.

# wajah kesatu

Lalu di dalam angkot, kehidupan pertama yang ku tatap dan amati adalah seorang anak kecil, dengan baju seragam TK-nya, bersama Ibunya, ya sepertinya itu memang ibunya. Anak kecil dengan wajah polos sambil memakan sebungkus kacang, tanpa banyak bicara dan terus saja mengunyah. Tiba-tiba saja aku teringat mama, dulu aku juga seperti anak itu, mama setiap pagi mengantarku, membawakan tas kecilku, mengamatiku dari luar ruang kelas. Lalu tiba-tiba saja aku ingat diriku, diriku yang dulu, saat masih kecil, masih tiada ada berpikir aneh, tiada ada berpikir pikiran rumit. Dahulu, kala itu, indah, begitu indah. Tak ada beban, tak ada tekanan, hanya permasalahan-permasalahan kecil yang ku temui. Dahulu saat Dinda kecil masih sama sekali tidak pernah menduga bahwa kehidupan ternyata adalah seperti ini, tak ada kata berhenti untuk teka-teki. Kehidupan dimana setiap detiknya adalah pertentangan, pertentangan perasaan kala kau lihat sekitarmu, pertentangan kala masalah menderu, dan pertentangan kala bahagia berseru. Ya, saat itu aku sama sekali tidak pernah menduga bahwa hidup nanti adalah sebuah perjuangan, entah itu untuk mendapatkan ataupun mempertahankan kebahagiaan, bahkan perjuangan untuk mencari secuil tantangan. Lalu tiba-tiba saja aku kembali ingat pada anak kecil itu, wajahnya yang polos, apakah dia akan tetap seperti ini sampai dewasa nanti? Memegang kukuh tangan ibunya, seakan takut kehilangan. Apakah dia akan tetap seperti ini sampai dewasa nanti? Dengan wajah polos penuh pesona, tanpa dosa. Kemanakah pergaulan akan membawanya nanti? Sungguh aku takut ketika membayangkan ia menjadi remaja, yang kemudian menghapus wajah polosnya, yang kemudian menghapus genggaman kukuhnya atas ibunya. Dan tiba-tiba saja aku ingin kembali pada masa ku masih kecil, masih sebesar itu, pada masa ku menggenggam erat tangan ibuku, tangan mama. Dan kemudian anak itu turun sambil semakin erat memegang tangan ibunya, dengan wajah yang takut kehilangan begitu sangat.

# wajah kedua

                Masih di dalam angkot biru, kehidupan kedua yang ku lihat adalah seorang nenek tua dengan pakaian lusuh dan tongkat kayunya yang seadanya, dengan wajah keriput dan kaki kanan yang tidak pernah ia tekuk saat duduk. Dengan membawa sekantong plastik besar entah berisi apa, dan sekantong plastik kresek kecil, berisi uang receh dan beberapa uang kertas yang lusuh karena habis dilipat-lipat. Sendiri, yah.. nenek itu sendirian. Entahlah jika dirimu, namun aku tentu itu langsung saja menjadi objek pengamatan liar ku. Lalu berbagai pertanyaan mulai muncul satu per satu. Mulai dari siapa nenek ini? Dimana ia tinggal? Mengapa ia sendirian di tengah kota besar seperti ini? Dimanakah keluarganya? Kawan-kawannya? Sahabatnya saat ia muda? Tidakkah ia mempunyai teman, sahabat kala ia masih belia, masih separoh tua, atau sebelum ia sampai ke titik sendirinya seperti ini? Dimana mereka? Tidakkah setiap orang tidak tercipta sebagai individu tersendiri? Setiap orang lahir dari rahim seorang lain yang disebut ibu, dan kemudian setiap orang itu memiliki kerabat, yang tali menali menyatukan tiap manusia yang ada di dunia ini, bukankah begitu? Bukankah mustinya dia tidak sendiri? Baiklah, jika ternyata seluruh keluarga terdekatnya mati, lalu dimana yang lain? Dimana sahabat, kawan, teman ia bermain lompat tali dulu, teman ia belajar tentang kehidupan yang keras dulu? Kemana? Haruskah ada manusia yang akhirnya benar-benar sendiri, lusuh seperti ini?. Lalu tiba-tiba saja aku teringat diriku sendiri, saat ini, teringat sahabat-sahabat, kawan, bahkan lawan yang ku punya. Akan kah pada akhirnya kami akan berpisah, sama sekali tidak berkabar ria? Akankah pada akhirnya tidak ada satu orangpun dari mereka yang menanyakan kabarku? Yang berbagi cerita di masa senja, tertawa mengingat saat kami sedang bermain dan belajar bersama ? aku tidak bertanya seperti apa tuaku nanti, tapi aku bertanya seperti apa kehidupan tuaku nanti? Akankah aku sendiri? terlontang lantung tak menentu, sendiri bahkan ketika membawa kantong besar seperti nenek tua itu. Tidak adakah yang menuntunku? Menemanika berbicara di dalam bis? Atau sekadar mengingatkanku agar aku minum obat karena penyakit sebagai orang tua? Lalu tiba-tiba saja perasaan itu begitu menusuk, aku rindu sahabat-sahabat ku, aku rindu kawan-kawan ku, haruskah apa yang kami ukir saat ini, berhasil diredupkan waktu?

Tidak terasa sudah sampai tujuan, ternyata nenek tua sama denganku, turun di tujuan yang ku tuju, lalu apa lagi yang bisa ku lakukan, aku berusaha menjadi kawannya, walau hanya sebentar saja, berusaha memberitahu pak supir agar sabar dan tidak menjalankan mobilnya dengan buru-buru saat nenek tua itu turun, berusaha menjadi kawan yang mengingatkannya agar berhati-hati melangkah, berusaha menjadi kawan yang membantunya membawa kantong besar itu turun dari mobil. Berusaha memberikan seperti apa yang aku inginkan saat aku tua nanti, walaupun sebentar dan tentu tidak akan mengubah kehidupan nenek tua itu. Masih aku berdiri mengawasi, sampai ia ditelan oleh kepadatan kota besar ini.


Terimakasih kepada para inspirasiku :
  1. Anak kecil lucu dan lugu, terimakasih atas sikapmu yang bersahabat saat aku amati, atau mungkin kau terlalu lugu untuk tau sedang memikirkan apa aku ini? Dan tidak peduli serta lebih senang mengunyah kacangmu yang sebungkus itu, sambil menggenggam erat tangan ibumu? Haha apapun itu, aku sangat menyukaimu, dan berharap perubahan zaman tidak turut serta merubahmu begitu saja.
  2. Nenek tua yang lusuh (sangat lusuh mungkin), terimakasih atas kehadiranmu yang menunjukkan betapa ketegaranmu tak mampu ku ukur, terimakasih karena masih menjadi misteri atas pertanyaan-pertanyaanku, dan terimakasih karena kau aku berjanji untuk sekuat mungkin tidak sendiri saat tua nanti, dan terimakasih sekali lagi karena dirimu, aku akan lebih menghargai masa-masa ku kini, menyimpan semua memori dengan baik dan menikmati dengan apik.


Best love for both of you,
Dinda Hn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terdepan