Suatu ketika dosen filsafat Jenar berkata bahwa orang gila sudah kehilangan hakikatnya sebagai ‘manusia’. Jenar tertawa kecil, namun ia terdiam ketika sang dosen bilang bahwa menjadi orang gila berarti bebas. Bebas hukum, bebas aturan, bebas dari hal-hal yang membatasi di dunia ‘manusia’, termasuk bebas dari kerumitan pikirannya atau justru bebas dari ketenangan pikirannya sendiri. Jenar jadi tertegun, diam, bengong, dan berpikir. Sampai kemudian Jenar mengatakan sesuatu dengan suara perlahan (entah disengaja atau tidak) : “Saya pingin jadi orang gila!”. Teman Jenar yang duduk di sampingnya tertawa, bahkan meledek. Namun Jenar tidak merubah ekspresi wajahnya yang seakan sudah menerawang jauh, menilik penasaran ke dalam dunia orang gila yang ingin ia jamah. Tatapan mata Jenar menjadi seperti kosong, dengan ekspresi beku tidak bergeser sedikitpun. Hal itu membuat temannya tersebut menjadi sedikit takut, kemudian semakin takut, kemudian lagi banyak takut, menelan ludah dan akhirnya diam sebagai klimaks dari ejekannya dan ketakutannya (klimaks yang buruk).
Selesai jam kuliah, perkataan sang dosen tadi mengenai hakikat ‘orang gila’ terus menjadi momok di dalam dunia ‘ide’ Jenar. Seperti habis menemukan sesuatu yang begitu memukau dan membuat berpikir bagaimana Jenar harus mendapatkannya. Sedangkan temannya, sebisa mungkin mencoba untuk tidak membahas / menyinggung perihal masalah itu lagi.
Di jalan, di bus kota, di jembatan, di halte, di gang-gang sempit, di pinggir pantai, di bukit, di semua tempat. Jenar berpikir “mengapa seseorang bisa menjadi gila dengan begitu sempurna? Dan mengapa ia sulit sekali untuk menjadi gila? Orang gila? Kenapa?”. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu membuat kepala Jenar menjadi sakit, tapi itu juga tidak membuat dia menjadi gila, dan Jenar kecewa. Lalu Jenar kembali berpikir lagi. Jadi kenapa Jenar sulit sekali menjadi orang gila. Tingkat stress? Atau masalah yang banyak? Loh, memangnya masalah Jenar selama ini masih kurang banyak, kurang berat?
Ibunya mati bunuh diri, karena bapaknya minta izin menikah lagi, dan setelahnya si bapak bilang kepada keluarganya, “saya hanya baru minta izin padahal, calonnnya belum ada, itu juga kalau dia setuju, karena saya pingin punya anak lelaki, sedangkan dia cuma bisa sampai kasih si Jenar, saya sungguh menyesal, ini akan mencetak trauma mendalam di hati saya!”. Keluarga menangis mendengarnya, Jenar sampai ikutan menangis juga. Namun tangisan itu amat ia sesalkan di kemudian hari. Karena belum ada dua bulan ibunya meninggal, si bapak sudah mengajak Jenar pindah ke luar kota yang jauh dari kota tempat ia tinggal sebelumnya, jauh dari keluarga ibunya bahkan bapaknya. Dan di kota itu Jenar mendengar seorang penghulu berkata, “Saya nikahkan Saudara Bantung bin Pecing dengan Saudari Mersi binti Tanang dengan mas kawin satu set perhiasan emas murni, dibayar tunai”. Jenar banting pintu kamar, namun si bapak cuma bilang pada para tamu kalau pintunya memang rusak, sudah agak kendor. Saat para tamu lengah, si bapak menemui Jenar di kamar. Jenar dimarahi habis-habisan. “Kamu boleh tidak suka, tapi jangan lancang! Itu acara sakral, tolol!”, kata si bapak menahan teriak. “Tapi Bapak nikah lagi, padahal Ibu baru aja mati, Bapak malah nikah lagi! Bapak bilang bapak nyesel, Bapak malah nikah lagi! Jenar tidak suka sama tante Mershit itu!”, Jenar berusaha membela diri, setengah berteriak sambil terisak. Tangan si bapak langsung menempeleng kepala Jenar, “Jangan panggil Ibumu dengan sebutan itu! Namanya Mersi, bukan Mershit! Kau masih kecil, tidak tahu apa-apa, lebih baik kau DIAM!”. Kemudian si bapak meninggalkan Jenar yang masih menangis di kamar, terisak-isak. “Ibu? Ibuku cuma satu! Ningrum namanya, yang kau buat mati, Bapak!”, bisik Jenar lirih. Mulai saat itu ia diam, tidak lagi banyak bicara dan bertanya. Jenar menjadi pendiam. Seorang pendiam seperti yang diperintahkan bapaknya.
Ia diam ketika tante Mersi mengambil diam-diam uang di bawah lipatan baju bapak, dan malah menuduhnya yang mengambil, sampai ia dihajar habis-habisan oleh bapaknya. Ia diam ketika tante Mersi meminum pil KB diam-diam padahal si bapak tidak memperbolehkannya. Ia diam suatu ketika melihat seorang tukang urut membuat tante Mersi berteriak kesakitan dan membuat darah mengucur di paha putih tante Mersi,tanpa sepengetahuan bapaknya. Bahkan ia diam, ketika suatu hari melihat tante Mersi memasukkan racun ke bubur bapaknya. Ia diam, hanya melihat dari balik pintu ketika bapaknya kejang-kejang, dan tante Mersi tertawa puas. Ia diam ketika para tetangga percaya bahwa bapaknya meninggal karena serangan jantung. Ia diam ketika para tentangga percaya bahwa tante Mersi benar-benar menangis, padahal tiap ke kamar, ia terus saja meneteskan obat mata super perih yang pernah ia berikan ke Jenar dulu. Ia diam ketika semua menganggap hal itu adalah sesuatu yang wajar dan biasa. Bahwa kematian itu sangat natural.
Penderitaan tahap dua dimulai. Saat tante Mersi membiarkannya sekolah dan tinggal di rumahnya, rumah bapaknya. Namun menjadikannya seperti jongos rendahan untuk mendapatkan makan dua kali sehari dan katanya untuk pengganti biaya sekolah Jenar yang dikeluarkan oleh tante Mersi. Padahal Jenar tahu, hal itu sudah tercatat dalam surat warisan yang diberikan bapaknya. Jenar masih diam ketika melihat tante Mersi membawa laki-laki berbeda tiap malam hari ke rumahnya. Ia diam ketika melihat tante Mersi bersama tante-tante lainnya membuat rumahnya penuh dengan kartu remi, kulit kacang dan berbotol-botol bir serta puntung rokok yang berserakan, dan itu membuat Jenar harus bangun lebih pagi untuk membersihkannya. Ia diam ketika tante Mersi marah-marah kepada pengacara bapaknya karena mengatakan kalau surat warisan si bapak tidak bisa diubah lagi. Bahwa tante Mersi hanya dapat 1/8 bagian dan sisanya milik Jenar. Ia diam ketika tante Mersi menyiksanya, dan mengancam akan membunuhnya. Ia diam ketika tante Mersi memilihkan tempat kuliah murah untuknya yang biayanya jauh dari yang disebutkan di dalam surat warisan, agar tante Mersi bisa mengambil sisa uangnya.
Penderitaan apa lagi pikir Jenar. Di usianya yang baru 19 tahun, sudah terlalu banyak penderitaan menurutnya. Tapi kenapa ia tidak juga menjadi gila? Jenar merasa frustasi, tapi itupun tidak membuatnya menjadi gila.
Di kampus, semua tidak berbeda. Jenar tetap diam, Ia diam ketika seorang teman mengejek karena ia memakai baju yang sama tiga kali dalam 5 hari. Bahkan Jenar diam ketika seorang teman berusaha untuk peduli dan menanyakan masalahnya. Ia diam. Ia selalu ingat perkataan bapaknya untuk : DIAM.
Suatu Kamis sore, Jenar datang ke rumah Ki Popo, dekat rel kereta. Itu terjadi hampir setiap Kamis sore. Ki Popo seorang bijak tua yang disegani orang-orang dan disukai anak-anak. Ki Popo ramah dan suka memberi wejangan, termasuk pada Jenar. Awal mula Jenar dan Ki Popo bertemu adalah ketika Jenar tertarik dengan dongeng Ratu Baik dan Ratu Jahat yang sedang diceritakan oleh Ki Popo kepada anak-anak kecil di sekitar rel di suatu Kamis sore. Sejak saat itu, setiap Kamis sore Jenar selalu mampir untuk mendengarkan dongeng Ki Popo. Dan setelahnya ia tidak lantas pergi, ia bersenda gurau dan bercerita banyak hal dengan Ki Popo. Ia juga tidak lupa menyampaikan salam dari ibunya kepada Ki Popo.
“Ibu bilang Aki orang baik, jadi aku boleh berteman dengan Ki Popo, dan ia memberiku izin untuk menjenguk Ki Popo, biarpun sampai pulang malam, karena aku senang berbincang dengan Ki Popo”, papar Jenar sambil memijat pundak Ki Popo. Ia begitu bersemangat menceritakan dan menanyakan berbagai macam hal pada Ki Popo.
“Kalau begitu, menurut Aki, ibumu orang yang baik, yaa?”, ucap Ki Popo memuji.
Jenar hanya menjawab dengan anggukan dan kemudian bercerita serta bertanya hal-hal yang lain lagi.
Begitulah kegiatan setiap Kamis sore. Seperti jadwal konsultasi seorang mahasiswa dengan dosen pembimbing akademiknya. Atau seperti seorang yang rutin ke dukun untuk konsultasi masalah kejituan susuk yang dipasangnya. Dan setiap Kamis sore itu pula Jenar menyampaikan salam dari ibunya untuk Ki Popo. Kemudian Jumat paginya, selalu ada tanda biru baru muncul di salah satu bagian tubuh Jenar, kadang beberapa bagian, kadang juga hampir semua bagian. Karena Kamis malamnya, sepulang ia dari kediaman Ki Popo, selalu ada keong beracun yang menggigit bagian tubuhnya. Dan keong beracun itu ternyata tinggal menempel di tangan ‘ibunya’, tante Mersi. Untuk hal ini Jenar kembali diam. Mungkin satu-satunya masa Jenar terbebas dari ‘kutukan perintah’ si bapak dulu (diam), adalah ketika ia bersama dengan Ki Popo. Karena dengan bijak tua itulah ia banyak bercerita dan bertanya. Termasuk cerita tentang pendapat dosen filsafatnya mengenai hakikat orang gila. Dan bertanya bagaimana seseorang bisa menjadi gila dengan baik.
Suatu Kamis pagi, Jenar sudah akan berangkat kuliah dengan baju yang sama di hari ketiga ketika tante Mersi menahannya dan menyuruhnya tinggal diam di rumah. Tante Mersi memberinya gaun dan mendandaninya dengan bedak yang ‘didempul’ tebal dan lipstik merah menyala yang dipoleskan ke bibirnya. Tante Mersi juga tumben-tumbenan memberi izin Jenar menggunakan parfum Italianya, bahkan kali ini ia sendiri yang meyemprotkannya di tubuh Jenar. Jenar masih diam, ia tetap diam seperti boneka yang sedang dindadani si empunya. Hanya saja sesekali mata Jenar menatap penuh tanya ke wajah tante Mersi yang terus saja memancarkan suasana cerah ceria. Setelah selesai mendandani Jenar, tante Mersi keluar dari kamar Jenar.
“Tunggu sebentar!”, perintahnya.
Lalu beberapa saat kemudian, terdengar suara tawa tante Mersi yang parau itu. Dan tidak lama dari itu seorang pria setengah tua masuk ke kamar Jenar dan menutup pintu. Kemudian keadaan menjadi sunyi. Lima menit kemudian, Jenar keluar dari kamarnya lalu dari rumahnya. Ia berjalan cepat, semakin cepat dan cepat dan berlari kencang entah kemana. Yang pasti sore itu ia tidak pergi ke rumah Ki Popo.
Kamis malamnya, Jenar kembali ke rumah. Ia pulang.
“Anak brengsek! Kenapa kau tonjok dia? Kau tak tau siapa dia? Gara-gara kau, aku harus mengembalikan sebagian uang bayaran itu! Besok dia akan datang lagi menemuimu, aku sudah janji padanya, jangan bertindak macam-macam, atau tamat riwayatmu!”, bentak tante Mersi.
Jenar diam, menunduk dan kemudian masuk kamar. Ia kemudian tertidur, lelap dan begitu lelap sampai tiba-tiba ia berteriak memanggil ibunya.
Keesokan paginya rumah Jenar penuh dengan orang-orang yang berkerumun. Sebuah ambulance dan mobil polisi juga ada di sana. Mayat tante Mersi dengan pisau yang menancap di dadanya segera diangkut ke ambulance untuk kemudian dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi. Jenar ikut bersama para polisi dengan tangan diborgol. Sebelum berpisah dengan tante Mersi, ia berbicara kepada petugas ambulance, “Kau boleh mengambil organ tubuhnya untuk keperluan sosial, hari ini aku mengakuinya sebagai keluargaku, dan memberimu izin untuk menggunakan organ tubuhnya.”.
Lalu ia menatap ke wajah tante Mersi yang pucat pasi dan berkata, “Maafkan ibuku untuk peristiwa tadi malam”.
Semua polisi dan petugas ambulance merasa aneh, namun kemudian mereka segera menjalankan tugasnya masing-masing.
Dua minggu kemudian seorang petugas dari Rumah Sakit Jiwa menjemput Ki Popo di rumahnya. Ki Popo kaget,tapi ia menurut dan tidak berontak atau banyak tanya. Saat sampai di Rumah Sakit Jiwa, Ki Popo berbincang dengan seorang Dokter Ahli Jiwa.
“Seminggu yang lalu pihak kepolisian mengirimnya ke sini. Mereka bilang pagi itu dia yang menelepon sendiri ke polisi dan bilang kalau ibunya telah membunuh ibu tirinya”, papar sang dokter.
Ki Popo kaget mendengarnya, “Ibunya? Ia memang sering cerita tentang ibunya, dan menyampaikan salam dari ibunya pada saya. Saya sendiri belum pernah melihat ibunya dok, apalagi ibu tirinya. Pun ini baru tahu Saya, kalau ia punya ibu tiri ternyata”, jelas Ki Popo dengan nada sedikit gentar.
“Hmmm, yaa.. yaa..”, angguk si dokter,
“Lalu bagaimana mulanya Aki mengenal anak itu?”.
Ki Popo kemudian menceritakan semuanya kepada Dokter Ahli Jiwa itu, sampai pada cerita ketika Jenar secara tumben-tumbenan tidak datang di suatu Kamis sore untuk menemuinya. Dan ternyata juga untuk Kamis-kamis berikutnya.
“Berarti tepat analisa saya!”, ucap Dokter Ahli Jiwa pada Ki Popo.
“Jenar memang mengalami gangguan jiwa, dan itu sudah berlangsung lama, tidak begitu pasti kapan waktunya, hanya saja yang pasti setelah bapaknya menikah lagi”.
“Menikah lagi dok? Kapan?”,
“Sudah lama, menurut keterang yang kami dapat, saat Jenar masih kelas 1 SMA, beberapa saat setelah ibunya meninggal. Sejak saat itulah jiwanya labil dan mengalami gangguan, termasuk selalu menganggap bahwa ibunya, Ningrum, masih hidup dan ibunyalah yang membunuh ibu tirinya, Mersi.”.
Ki Popo terperanjat mendengar cerita si dokter, ia terdiam beberapa menit yang cukup lama, seperti tidak percaya dan mulai ikut menganalisa. Dan sambil tertunduk lesu, Ki Popo berkata, “Ya dok.. dia memang sudah gila sejak pertama mengenal saya, bahkan mungkin lebih lama dari itu, seperti yang dokter bilang. Karena dia selalu menyampaikan salam dari ibunya kepada saya, dan cerita banyak hal yang ia lakukan di hari sebelumnya bersama ibunya. - Dan ibunyaa.. Ningrum, dok! Ia bilang nama ibunya Ningrum bukan Mersi”.
Keadaan menjadi sunyi untuk beberapa saat. Antara Ki Popo dan Dokter Ahli Jiwa sama-sama terperanjat, juga sama-sama merasa iba pada Jenar. Mereka sama-sama tertegun beberap saat.
“Ki.. sekarang sebaiknya Aki menemui Jenar. Dia selalu memanggil-manggil nama Aki, bahkan sesekali mengamuk, karena memaksa ingin menemui Aki”.
Ki Popo mengangguk menyetujui permintaan si dokter. Ia diantar seorang petugas Rumah Sakit Jiwa menuju ruangan tempat Jenar dirawat. Sesampainya Ki Popo di sana, Jenar yang tadinya hanya diam tanpa ekspresi menjadi begitu girang dan senang. Seperti biasa ia menyampaikan salam dari ibunya untuk Ki Popo. Ia juga banyak bercerita dan bertanya.
“Ki, aku kasihan pada ibu. Ia jadi harus dikurung karena perbuatannya”, cerita Jenar.
“Ibumu? Melakukan apa?”
“Ia menusuk dada tante Mersi malam itu, setelah sorenya aku cerita bahwa tante Mersi akan menjualku pada seorang pria setengah tua. Ibu bilang tante Mersi sudah keterlaluan. Aku berusaha mencegahnya, tapi Ibu sudah begitu marah”.
Ki Popo terdiam, sekarang ia benar-benar merasa iba. Jenar perlahan-lahan menceritakan semuanya tentang hidupnya, kecuali kematian ibunya, Ningrum.-
Sudah cukup lama Ki Popo berada di ruang itu. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk pulang, karena si dokter juga sudah memberinya isyarat.
“Jenar, hari sudah hampir gelap. Aki pulang dulu ya. Kau baik-baik lah nak di sini!”.
“Ya Ki, lagi pula aku masih bisa bertemu ibu sesekali waktu di sini. Ibu bilang ia tidak akan pernah meninggalkanku. Jadi aku tidak kesepian. Tenang saja Ki..”.
Ki Popo berusaha tersenyum walaupun hatinya getir. Saat Ki Popo mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba Jenar memanggil dan bertanya, “Ki..! Aku lupa bertanya. Jadi, bagaimana caranya menjadi orang gila? Mengapa susah sekali?”.
Ki Popo tersenyum dan menggeleng, kemudian melanjutkan langkahnya. Dan Jenar kembali diam, masih diam dan tetap diam. Kecuali saat Ki Popo datang mengunjunginya. Sampai suatu ketika Ki Popo tidak pernah datang lagi. Yah, Ki Popo juga pergi, menyusul Ningrum sepertinya.
Jakarta, 03 November 2010
Dinda Hn