Pertama kali aku berdebar adalah ketika magrib itu membawamu padaku.
Dengan senyum yang belakangan seringkali kudapati.
Magrib itu, ragamu tepat di hadapanku, antara kita meja yang membatasi langkah pandang.
Seakan menjawab semua keanehan yang datang malam sebelumnya, saat tetiba dirimu begitu saja masuk ke pikiranku.
Lalu apa yang harus aku terjemahkan?
Hanya bisa menunduk, tak mampu membaca matamu yang bercahaya.
Perasaan?
Bahkan aku tak sekalipun memikirkan -setidaknya sebelumnya- dan kurasa kau pun begitu.
Tapi aku berdebar, sesaat menjadi naif, sesaat lagi menjadi hilang arah, sesaat lagi menjadi diriku kembali.
Ya, diriku kembali, ketika aku kehilangan katakata yang bahkan tak pernah kupersiapkan untukmu.
Sesekali tersibak dari batinku, mengapa kemudian kita bertemu?
Sedekat ini?
Padahal tak sampai hendakku berhirau-sapa. Bahkan kuenggan menebar kata.
Dirimu begitu kamuflase, begitu bergaya prestise -setidaknya pikirku-.
Tapi siapa mengira, telah tiba masa kita bercakap, begitu akrab.
Bercerita tentang dirimu tanpa kesengajaan, engkau begitu lepas meski malumalu.
Bergurau-canda, mencair suasana.
Seiring itu pula mencair ke-angkuhanku.
Ada yang tak pernah kutemu dalam dirimu.
Kukira iman membawamu dalam kejauhan, namun rasanya -harus kuakui- begitu menghangatkan.
Nyatanya, sesuatu membawa kita pada keharusan bertegur sapa.
Tak pernah terpikir sebelumnya, sebuah kebaikan dan keindahan sikap, meluluhkan angkuh yang kudinginkan selama ini.
Aku bahkan tak lagi memiliki alasan untuk tidak mengakrab denganmu.
Semasa aku sadari,
ada garis yang memang sudah terlukis,
sekiranya tentang pertemuan yang rasanya memang tak pernah siasia.
Masih pada magrib itu,
hamparan kurmakurma,
kupilihkan satu dan berkata: semanis inikah imanmu melantahkan egoku?
Salam.
Rawajati, Agustus 2013