Jumat, 14 November 2014

Belajar Bahasa Hanya Soal Bicara? Ups! Tunggu Dulu!



LINGUISTIK : BUKAN SEKADAR TEORI BELAKA
Secuil Pandang Kapita Selekta Linguistik

Dinda HN


Penting Ya Belajar Bahasa?

Tidak perlu mengelak atau memungkiri kenyataan bahwa selama ini pembelajaran bahasa sering kali dianggap sepele atau diabaikan, apalagi bahasa negara sendiri. Padahal bahasa merupakan ikhwal penting dalam segala aspek kehidupan manusia. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya satupun bidang kehidupan manusia yang tidak menyinggung unsur bahasa. Sebagai contoh adalah kegiatan berkomunikasi. Komunikasi sendiri merupakan kegiatan terpenting yang membuat manusia mampu saling berinteraksi, membangun hubungan, mencipta konsep, budaya, serta mampu bersosialisasi sehingga dapat membangun sebuah sistem kehidupan yang harmonis. Dalam berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa sebagai alat utamanya. Jadi, terbayang  kan betapa penting dan fundamentalnya bahasa bagi kehidupan manusia?
< meta property=”og:image” content=”http://website.com/wp-content/uploads/logowebsite.jpg“/ >

Maka, atas dasar tersebut, rasanya tidak berlebihan jika tiap individu seharusnya perlu mempelajari dan mengetahui dengan baik setiap hal fundamental yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, termasuk bahasa.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kajian tentang bahasa telah bermula pada zaman Yunani (sekitar tahun 500 SM). Hal tersebut terkait dengan adanya penemuan kajian orang-orang India yang didasarkan pada hasil kajian Panini pada abad ke-17, yang terkenal dengan tata bahasa Sanskrit Panini. Hingga saat ini kajian bahasa terus berkembang.
Ilmu yang mempelajari bahasa disebut linguistik (berasal dari kata Latin lingua ‘bahasa’).
Linguistik menjadi satu cabang ilmu yang mempunyai disiplinnya sendiri. Sebagai satu cabang ilmu yang mandiri, Linguistik juga memiliki taksonominya sendiri. Taksonomi tersebut akhirnya membentuk subdisiplin linguistik.

Secara umum, linguistik mempelajari segala hal yang berkenaan dengan bahasa, baik aspek internal maupun eksternal. Khusus mempelajari aspek internal bahasa disebut juga dengan ‘linguistik mikro’, sedangkan mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor di luar bahasa disebut juga dengan ‘linguistik makro’.
  

Minggu, 09 November 2014

Realisme Sosial dalam Cerpen "Kiai Mardikun"


PERLAWANAN SATIRE PRAKTIK KEBORJUISAN DALAM CERITA PENDEK “KIAI MADRIKUN”
 (Karya Aguk Irawan MN – Media Indonesia, 18 Mei 2014)
oleh Dinda HN
           
Karya sastra sebagai sebuah karya humaniora tentunya haruslah menyentuh aspek-aspek kemanusiaan dan manusia itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Vladimir Jdanov, bahwa sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, serta latar belakang unsur sejarah dan sosial. Utamanya di masa ini, penggambaran realitas sosial menjadi menarik mengingat masyarakat haus dengan penyampaian-penyampaian yang mengetuk naluri serta nalar mereka untuk merefleksi keadaan secara mandiri. Bukan lagi melalui paksaan-paksaan keras dalam menyadarkan betapa kekeliruan cara pandang itu cukup banyak terjadi di kesadaran maupun ketaksadaran kita sebagai manusia.
            Membaca cerita pendek (cerpen) Kiai Madrikun karya Aguk Irawan rasanya saya tidak memiliki jarak dengan apa yang hendak disampaikan di dalamnya. Sosok Kiai Madrikun, pengalaman hidupnya, serta orang-orang yang ada di sekitarnya serasa telah saya kenal. Maka, rasa-rasanya jika hendak dibayangkan atau dianalogikan atau digambar-gambarkan sesuai gambaran nyata, sosok-sosok yang ada dalam cerpen Kiai Mardikun mudah ditemui realisasinya dalam kehidupan bukan fiksi.
            Kiai Madrikun sendiri sudah mampu menggambarkan secara gamblang realitas sosial di kalangan masyarakat pembacanya. Kehidupan masyarakat itu sendiri sebagai sebuah realitas yang mendorong terciptanya karya. Seperti yang didengungkan di Uni Soviet mengenai aliran realisme sosialis yang muncul sebagai wujud penentangan terhadap kesenian borjuis yang memiliki kemerosotan. Para sastrawan Rusia seperti Gorky menebarkan gaya penulisan karya sastranya yang sangat kental dengan realisme sosial. Menurut para pemegang teguh realisme sosial, suatu karya sastra seharusnya mampu menjadi gambaran realistis yang ada di kehidupan masyarakatnnya. Bukan sekadar pesanan-pesanan penguasa, di mana seniman adalah pegawai yang harus memenuhi kewajiban tugas pesanan tersebut tanpa mengedepankan fungsi karya sastra sebagai media perjuangan atas kebenaran.

Terdepan