Sabtu, 23 April 2011

Tokoh Utama dan Gadis-Gadisnya

Pesta tentang cinta itu palsu!
Sang tokoh utama berlari keluar dari pesta yang hanya sunyi ia dapati. 
Anjing-anjing kecil bergongong menggunjing dalam lolong-lolong panjang. Menceritakan tentang ia dan pesta yang tak usai.

Kehilangan – sudah menjadi plot utama. Alurnya selalu mengalir deras bagai arus sungai yang diburu angin.
Tokoh utama lelah, ia berontak, ia ingin keluar dari cerita sang penulis. 
Ia mempreteli tiap-tiap plot yang digariskan. Ia belokkan alur-alur yang lurus, bahkan ia patahkan garis-garis pondasi cerita. Tokoh utama berontak dari alamnya – alam cerita yang dibuat oleh sang penulis kisah.

Malaikat-malaikat  yang tengah tumbuh dewasa terbengong-bengong dibuatnya. Mengamati tokoh utama yang terus saja berlari tanpah arah. Menembus portal-portal kisah yang semestinya.

Pesta tentang cinta selalu saja tidak berakhir indah baginya, sang tokoh utama.Ia muak.. terakhir kali dua cintanya hilang –  gadis-gadisnya hilang dan terbang meninggalkan penyalahan.

Susah payah ia merangkai keping demi keping rasa takjub , namun dua cintanya ternyata lemah – hanya bisa datang lalu pergi ketika kecewa.

fiksi.kompasiana.com
Gadis-gadisnya menjadi basi – hanya bumbu yang ditambahkan oleh sang penulis yang harum menyengat lalu basi dalam waktu singkat – basi yang menyengat.  
Demi kebaikan katanya – tokoh utama mencoba melakukannya.
Tapi kini ia di luar kendali. 

Gadis-gadis basi adalah basi yang sebenarnya ia inginkan namun ia abaikan. 
Gadis-gadis basi itu sudah lama basi baginya, bahkan ketika sang penulis menyajikannya sebagai harum yang menggoda. Lalu mau diapakan?

Toh pesta tentang cinta, akhirnya telah tokoh utama ketahui -  tiada seorang pun merdeka dalam pesta itu. 

Tapi ia kecewa. Gadis-gadis basi bisa matang kembali di pesta lainnya, sedangkan ini pestanya, ia yang utama. 

Maka tak ada pesta lagi setelahnya, tak ada lagi pesta bersama gadis-gadis basi – basi bahkan sebelum ia cicipi-. 

Yang terjadi ialah, ia tahu bahwa yang utama itu hanya akan membereskan pesta tentang cinta (yang palsu) ini. Yang utama itu dia. 
Maka ia berontak.. ia tidak ingin berakhir sendiri. Ia memacu kakinya yang kuat dan seolah 
semakin kuat ketika ia gunakan untuk berlari.

Ia berlari begitu kencang. Bulu-bulu kakinya sampai berterbangan.

Ia berlari melawan plot yang semestinya, sangat kencang, sampai ia tidak sedikitpun merasa sakit menabrak angin.

Semakin kencang, kencang, dan kencang.. hingga angin pun memilih untuk bersahabat dengannya.. angin menerbangkannya, tinggi .. tinggi sekali..

http://1.bp.blogspot.com/
Menenggelamkannya dalam ketinggian, ia kini lepas.. peta cerita itu ia ludahi..

Ia melambai pada gadis-gadisnya yang basi.. yang sedang sibuk dengan pestanya yang baru..
Ah..  ia tidak perduli.

Ia mencari awan , berusaha menggenggamnya, ia bermain dengan angin – terbang dengan sayapnya yang ia ciptakan sendiri.

Ia terbang menembus siluet-siluet mega yang legam menggoda.

Terbang lepas.. Mencari titik dimana ia akan terjun kembali. 
Ia berusaha membakar lukanya dalam tinggi.
Luka yang tidak ia kenali. 












                                                                               Hn - April 2011


Sabtu, 16 April 2011

Masih Wanita -

Pernah aku berpikir, rasa-rasanya menjadi seorang pria itu asyik. Aku bisa dengan mudah melemparkan diriku pada jalur terang perjuangan dan ketegangan, terhadap apa yang aku yakini. Aku bisa dengan tegas menentang tanpa dianggap mengungguli. Aku bisa berkelana mencari banyak orang-orang yang bertujuan. Aku bisa belajar dari mereka mengenai banyak pandangan.


Saat aku wanita, aku memang bebas. Aku bebas bermimpi untuk bisa berjuang secara bebas. Itu adalah kebebasan paling berharga yang aku punya. Apalagi di keadaan yang sudah terlalu kacau. Ah saat menjadi pria saja perjuangan dianggap sebelah mata, apalagi wanita.

Emansipasi?

Aku ini wanita yang menjunjung tinggi emansipasi, tapi aku juga seorang timur, berdiri di tanah leluhur. Aku membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang, tentang RA Kartini itu. 
Bahkan Kartini pun tidak secara murni memenangkan semua tuntutan emansipasinya. Dia melunak pada hal-hal tertentu, karena itu memang hal-hal yang manusiawi terutama sebagai manusia yang dilahirkan di tanah jawa. Perasaan itu telah berdasar sejak dilahirkan. Ada bagian yang tidak bisa tersentuh oleh pemikiran.

Tapi kemudian aku sadar, di zaman sekarang ini, di saat individualisme semakin tinggi, dan sudah tidak jelas lagi mana yang harus diperangi atau malah terlalu banyak yang harus diperangi, rasa-rasanya sama saja antara menjadi wanita dan pria. 
Keduanya hanya akan menjadi golongan kecil sebagai pejuang. Sedangkan yang lainnya adalah golongan orang-orang yang hanya suka oper sana-sini. Orang-orang yang sukanya cari muka, bertindak berlebihan dengan tindakan-tindakan impulsif, sunggung sebuah idiocy yang menyedihkan! Biasanya tujuan mereka selalu dan selalu popularityPernah sewaktu-waktu aku bikin joke begini untuk mereka (ini sakartis sebenarnya) :

Mereka yang golongan lebih banyak itu biasanya hanya mencari popularitas dengan tindakan-tindakan impulsif, mungkin secara tidak langsung dalam hati dan pikiran mereka sudah tertanam sebuah mindset “We just need an idiocy to make a popularity”. Hahahah
Lalu aku memutuskan dan menyadari sesegera mungkin untuk tetap bersyukur telah menjadi seorang wanita.

Yaa.. mungkin aku bukan Kartini, yang mempunyai kenalan-kenalan orang Belanda atau Eropa lainnya sehingga mempermudah ia dalam berjuang atau mungkin aku juga tidak seperti beliau yang merupakan anak orang terpandang di Jawa. 

R.A. Kartini

Dan aku juga bukan Cut Nyak Dien yang bisa begitu liar dan terang dalam berjuang melawan penjajah. Masalah-masalah mereka kala itu masih bulat dan jelas antara masalah tentang penuntutan emansipasi dan masalah perlawanan terhadap bangsa-bangsa kulit putih yang menjajah.
Cut Nyak Dien


Tapi sekarang? Masalah begitu suram, tidak jelas. Tindakanpun menjadi  abstrak dan terkadang keinginan menjadi absurd. Lagi pula aku hanya gadis biasa, wanita pun belum. Tapi telah kuputuskan, aku akan tetap memulai dengan bertekad untuk berjuang dengan caraku. Walaupun sekarang aku belum menemukan cara yang terang, jelas dan tepat, aku tidak perduli. Karena aku tau Tuhan telah tau apa harapanku, karena semua berawal dari mimpi dan harapan bukan? 
Jadi aku telah meyakinkan suatu hari aku akan melakukan sesuatu yang mengingatkanku bahwa aku pernah memiliki harapan seperti ini.




Hn. - masih wanita..

Terdepan