Selasa, 26 Oktober 2010

saya, di malam ini

Pernahkah kau berpikir bahwa kita telah terbawa arus?
Di dalamnya, ada kau dan aku..
Jika kau merasa kesakitan, ingatlah aku juga merasakannya
Mungkin belum kau sadari..
Hanya jika kau mau sedikit berbagi, berbicara antara hati, mungkin kau akan lebih mengerti
Bahwasanya aku pun inginkan ketenangan, yang ada saat melihatmu berdiri gagah
Bukan keresahan, yang muncul saat melihatmu jatuh terpuruk lesuh, seperti kala ini.

Iringan waktu mengikuti kisahku, menyayangimu..
Adakah salah atas diriku, salah atas apa yang tak tentu?
Kau, memberiku nafas panas, aku resah sayang..
Kau biarkan arus semakin tak berujung, kencang menyeret kita
Memisahkan genggaman yang pernah ada

Lalu kau pikir itu lukamu? deritamu? penghabisan bahagiamu?
Bagaimana denganku?
Sekarang kau lihat, telah aku katakan dan gambarkan
Kau yang memilih jalan itu, jalan melepasku
Padahal padaku telah ada harapan, dan kini aku harus mengikhlaskan

Akan selalu ada pertanyaan,
Masihkah kau menyayangiku? Seperti kala kau menyambutku di depan gang itu

19 April yang sama

                       Dinda Hn



Jumat, 22 Oktober 2010

Sore yang indah untuk jiwa yang gundah.


Hari ini, ada awal yang kurang baik. Ada gundah, ada resah..
Seperti biasa, selagi aku masih mampu tersenyum, air mata kan ku simpan untuk esok yang mungkin lebih menyakitkan.

Sore ini, pulang kembali, dengan gundah masih di hati.
Aku bersama kawan-kawan seperti biasa naik mobil milik Jakarta, sebut saja *TJ hehehe
Daaaaann.. zzepp
Tiba saatnya sendiri, aku transit di Matraman, sendiri lagi..
Kunyalakan musik dari hp, mencari lagu yang pas untuk suasana yang pas.
Ku lihat langit mulai mendung.
Masih berjalan pelan di penyebrangan shalter busway, sambil melihat awan sesekali.
Lagu yang berdendang membawaku pada sebuah nama.
(perjalanan di penyebrangan shalter busway pun berakhir) 

Uuppss.. penuuuuhh..
Shalternya penuh, haaah menunggu lagi..
Tapi ternyata tidak lama menunggu sudah ada bus banyak yang datang,
Walaupun penuh akhirnya aku memutuskan untuk ikut bus kedua itu.
Tapi tidak lama berdiri di dalam bus, seorang pria jantan menawarkan ku tempat duduk, hahah (matur nuhun kang :p)
Si akang ngasih tempat buat ku di kursi belakang, pojok dekat jendela,
Nice place, daaaaan saya pun makin terbuai dengan pemandangan langit yang mendung dan lagu yang bersenandung
Waaah awannya berbentuk aneh-aneh, mendung, semua membawaku pada satu suasana, dan satu nama.
Bahkan saat ku pejamkan mata.
Perjalanan yang cukup panjang, buatku banyak merenung, memikirkan, dan langit yang gelap sore itu menambah melankolis gundah hati.
Tapi entah mengapa aku selalu menyukai langit yang sedikit gelap, ada pandangan jauh yang kudapat.

Tiba di shalter terakhir, aku turun.
Masih berjalan sedikit lesu, dan langit semakin gelap, anginnya sangat bersemangat, seakan ingin membawaku yang sedang asyik berjalan di trotoar jalan, sendiri.
Hahah rasanya asyiiiikk, seperti dalam film-film, dengan backsound lagu yang mantap, dan suasana yang sedap :)
Lalu, angkot selanjutnya sudah datang, ku lanjutkan saja perjalanan,
Masih gundah, masih gelisah, semua berkecamuk dalam pikiran dan rasa.
Tentang perasaan yang abstrak dan satu nama.
Sudah sampai di tujuan berikutnya,
Seperti biasa aku memilih berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Melewati jalan setengah raya, yang di dampingi pohon-pohon besar di kanan-kiri sisi.
Menikmati setiap langkah yang ku buat dan setiap pemikiran yang menggeliat.
Langit sudah terlalu gelap kali ini, perlahan kurasakan rintik air mulai menyapa.
Sepi, tiada satupun wajah.
Hujan semakin deras dan basah, disapu angin yang kencang mencari senja.
Waaah aku tidak bisa nekat, tak bawa payung pula.
Tapi tarian angin yang membawa air hujan itu semakin menggodaku untuk ikut menari bersamanya, untuk ikut basah! Mungkin sebagai pengganti air mata :)
Eeh, tapi ku ingat, si HP sedang sakit, bisa mati dia. Haha
Lalu aku berteduh di pinggir rumah seseorang yang pasti tak ku kenal. Sendiri lagi,
Tapi tiba-tiba saja aku merasa sangat senang, tersenyum, begitu khidmat.
Suasana yang ku rindukan di suasana hati yang tak meng-enakkan.
Sendiri, menatap jalan sepi separoh raya, bersama hujan deraass dan angin kencang, sambil mendengarkan lagu dan membawa semua perasaanku.
Aku sangat menyukai saat itu, sangat menyukainya!
Bau tanah basah yang terbasuh air hujan, belaian angin kencang yang berlari liar,
Aku menyukainya, dan berharap setelah ini tiada lagi ada duka
~ terimakasih Tuhan, untuk sore indah yang Kau beri ~

For the memorable time. Terimakasih kepada :
-          Langit, hujan, dan angin

                                                   Dinda Hn

Rabu, 20 Oktober 2010

Tulisan untuk "empat huruf"


wussss --
Malam ini kangen betul..
Hmm sebetulnya sih udah lama kangennya,
Kangen  sama “empat huruf” !!
Pertemuan itu emang baru sebentar, beberapa kali, tapi tiap-tiapnya selalu ada kenangan
Cara “empat huruf” menatap D,
cara “empat huruf” ngomong sama D,
cara “empat huruf” bercanda sama D,
cara “empat huruf” perhatiin D,
cara "empat huruf" sayang-sayang pala D, semuanyaa..

D emang ga pernah bilang D sangat senang dengan itu semua, tapi D emang sangat senang,
Sekarang D kangen, kangeeeen betul, sama serpihan dari kenangan singkat itu.

Surat untuk “empat huruf”..

Apakah masih akan ada tangan lembut menyentuh rapuh uraian rambutku ?
Apakah masih bisa ku cium wangi harum kehangatan pandangan mu?
Apakah masih akan kau tunggu aku di lorong tempat kita berjanji ?
Apakah masih bisa ku menangis padamu saat aku sepi, sendiri ?
Apakah masih akan ada senyuman yang kau tawarkan padaku ?
Apakah kau dan aku masih bisa berjalan seakrab waktu itu ?
Kau dekap aku dalam diammu, dan aku begitu terlindungi dalam bisuku..

I need the caring, and I rememb you ..  D.

Minggu, 17 Oktober 2010

Perjalanan #1

Di Dalam Angkot Biru

Kadang aku suka berpikir, sangat senang memikirkan, ketika aku menikmati jalanku, ketika melewati kehidupan-kehidupan yang ku hadapi, ketika dalam perjalanan aku sangat senang mengamati, mencobo menilik tanpa mengusik kehidupan yang sedang ku lihat, untuk memperkirakan sisi yang tak ku lihat dari kehidupan itu.
Seperti pada pagi itu, seperti biasa dengan sebuah angkot biru salah satu saranaku menuju kampus. Panjang perjalanan yang ku lalui, membuatku banyak menghasilkan pertanyaan-pertanyaan, menghasilkan banyak angan-angan. Melihat wajah-wajah saudaraku satu per satu. Melihat jalanan yang semakin tua dan kering, melihat bangunan yang seperti berteriak atas kelelahannya.

# wajah kesatu

Lalu di dalam angkot, kehidupan pertama yang ku tatap dan amati adalah seorang anak kecil, dengan baju seragam TK-nya, bersama Ibunya, ya sepertinya itu memang ibunya. Anak kecil dengan wajah polos sambil memakan sebungkus kacang, tanpa banyak bicara dan terus saja mengunyah. Tiba-tiba saja aku teringat mama, dulu aku juga seperti anak itu, mama setiap pagi mengantarku, membawakan tas kecilku, mengamatiku dari luar ruang kelas. Lalu tiba-tiba saja aku ingat diriku, diriku yang dulu, saat masih kecil, masih tiada ada berpikir aneh, tiada ada berpikir pikiran rumit. Dahulu, kala itu, indah, begitu indah. Tak ada beban, tak ada tekanan, hanya permasalahan-permasalahan kecil yang ku temui. Dahulu saat Dinda kecil masih sama sekali tidak pernah menduga bahwa kehidupan ternyata adalah seperti ini, tak ada kata berhenti untuk teka-teki. Kehidupan dimana setiap detiknya adalah pertentangan, pertentangan perasaan kala kau lihat sekitarmu, pertentangan kala masalah menderu, dan pertentangan kala bahagia berseru. Ya, saat itu aku sama sekali tidak pernah menduga bahwa hidup nanti adalah sebuah perjuangan, entah itu untuk mendapatkan ataupun mempertahankan kebahagiaan, bahkan perjuangan untuk mencari secuil tantangan. Lalu tiba-tiba saja aku kembali ingat pada anak kecil itu, wajahnya yang polos, apakah dia akan tetap seperti ini sampai dewasa nanti? Memegang kukuh tangan ibunya, seakan takut kehilangan. Apakah dia akan tetap seperti ini sampai dewasa nanti? Dengan wajah polos penuh pesona, tanpa dosa. Kemanakah pergaulan akan membawanya nanti? Sungguh aku takut ketika membayangkan ia menjadi remaja, yang kemudian menghapus wajah polosnya, yang kemudian menghapus genggaman kukuhnya atas ibunya. Dan tiba-tiba saja aku ingin kembali pada masa ku masih kecil, masih sebesar itu, pada masa ku menggenggam erat tangan ibuku, tangan mama. Dan kemudian anak itu turun sambil semakin erat memegang tangan ibunya, dengan wajah yang takut kehilangan begitu sangat.

# wajah kedua

                Masih di dalam angkot biru, kehidupan kedua yang ku lihat adalah seorang nenek tua dengan pakaian lusuh dan tongkat kayunya yang seadanya, dengan wajah keriput dan kaki kanan yang tidak pernah ia tekuk saat duduk. Dengan membawa sekantong plastik besar entah berisi apa, dan sekantong plastik kresek kecil, berisi uang receh dan beberapa uang kertas yang lusuh karena habis dilipat-lipat. Sendiri, yah.. nenek itu sendirian. Entahlah jika dirimu, namun aku tentu itu langsung saja menjadi objek pengamatan liar ku. Lalu berbagai pertanyaan mulai muncul satu per satu. Mulai dari siapa nenek ini? Dimana ia tinggal? Mengapa ia sendirian di tengah kota besar seperti ini? Dimanakah keluarganya? Kawan-kawannya? Sahabatnya saat ia muda? Tidakkah ia mempunyai teman, sahabat kala ia masih belia, masih separoh tua, atau sebelum ia sampai ke titik sendirinya seperti ini? Dimana mereka? Tidakkah setiap orang tidak tercipta sebagai individu tersendiri? Setiap orang lahir dari rahim seorang lain yang disebut ibu, dan kemudian setiap orang itu memiliki kerabat, yang tali menali menyatukan tiap manusia yang ada di dunia ini, bukankah begitu? Bukankah mustinya dia tidak sendiri? Baiklah, jika ternyata seluruh keluarga terdekatnya mati, lalu dimana yang lain? Dimana sahabat, kawan, teman ia bermain lompat tali dulu, teman ia belajar tentang kehidupan yang keras dulu? Kemana? Haruskah ada manusia yang akhirnya benar-benar sendiri, lusuh seperti ini?. Lalu tiba-tiba saja aku teringat diriku sendiri, saat ini, teringat sahabat-sahabat, kawan, bahkan lawan yang ku punya. Akan kah pada akhirnya kami akan berpisah, sama sekali tidak berkabar ria? Akankah pada akhirnya tidak ada satu orangpun dari mereka yang menanyakan kabarku? Yang berbagi cerita di masa senja, tertawa mengingat saat kami sedang bermain dan belajar bersama ? aku tidak bertanya seperti apa tuaku nanti, tapi aku bertanya seperti apa kehidupan tuaku nanti? Akankah aku sendiri? terlontang lantung tak menentu, sendiri bahkan ketika membawa kantong besar seperti nenek tua itu. Tidak adakah yang menuntunku? Menemanika berbicara di dalam bis? Atau sekadar mengingatkanku agar aku minum obat karena penyakit sebagai orang tua? Lalu tiba-tiba saja perasaan itu begitu menusuk, aku rindu sahabat-sahabat ku, aku rindu kawan-kawan ku, haruskah apa yang kami ukir saat ini, berhasil diredupkan waktu?

Tidak terasa sudah sampai tujuan, ternyata nenek tua sama denganku, turun di tujuan yang ku tuju, lalu apa lagi yang bisa ku lakukan, aku berusaha menjadi kawannya, walau hanya sebentar saja, berusaha memberitahu pak supir agar sabar dan tidak menjalankan mobilnya dengan buru-buru saat nenek tua itu turun, berusaha menjadi kawan yang mengingatkannya agar berhati-hati melangkah, berusaha menjadi kawan yang membantunya membawa kantong besar itu turun dari mobil. Berusaha memberikan seperti apa yang aku inginkan saat aku tua nanti, walaupun sebentar dan tentu tidak akan mengubah kehidupan nenek tua itu. Masih aku berdiri mengawasi, sampai ia ditelan oleh kepadatan kota besar ini.


Terimakasih kepada para inspirasiku :
  1. Anak kecil lucu dan lugu, terimakasih atas sikapmu yang bersahabat saat aku amati, atau mungkin kau terlalu lugu untuk tau sedang memikirkan apa aku ini? Dan tidak peduli serta lebih senang mengunyah kacangmu yang sebungkus itu, sambil menggenggam erat tangan ibumu? Haha apapun itu, aku sangat menyukaimu, dan berharap perubahan zaman tidak turut serta merubahmu begitu saja.
  2. Nenek tua yang lusuh (sangat lusuh mungkin), terimakasih atas kehadiranmu yang menunjukkan betapa ketegaranmu tak mampu ku ukur, terimakasih karena masih menjadi misteri atas pertanyaan-pertanyaanku, dan terimakasih karena kau aku berjanji untuk sekuat mungkin tidak sendiri saat tua nanti, dan terimakasih sekali lagi karena dirimu, aku akan lebih menghargai masa-masa ku kini, menyimpan semua memori dengan baik dan menikmati dengan apik.


Best love for both of you,
Dinda Hn

Jumat, 15 Oktober 2010

Sejarah Sastra

Periodisasi : Dekade Zaman Lama - 1920

-          Pengertian Sejarah Sastra.
Sejarah sastra berbeda dengan sejarah pada umumnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari cara penyusunan dan atau objek dari sejarah tersebut. Sejarah dalam arti umum biasanya disusun berdasarkan fakta-fakta / data yang berupa peristiwa dan kejadian masa lampau. Sedangkan sastra langsung dihadpkan dengan hasil sastra konkret yang ada / yang diciptakan dar berbagai zaman baik berupa naskah lama ataupun yang baru terbit. Sedangkan naskah yang telah lenyap atau hilang buktinya tidak bisa lagi masuk ke dalam sejarah sastra.
-          Dalam Sejarah Sastra, penilaian terhadap sastra modern akan sama tepat atau tidak tepatnya dengan penilaian terhadap sastra lama. Karena memiliki jarak yang sama.
-          Hanya karya sastra yang dapat menunjukkan suatu perkembangan baru dan bernilai yang dapat dimasukkan ke dalam perkembangan sejarah sastra.
-          Periodisasi Sastra adalah masa-masa / zaman-zaman (baik jangka waktu panjang ataupun pendek) dalam perkembangan sastra yang memberikan suatu corak, sifat dan ciri khas tertentu dalam pengaruhnya terhadap hasil sastra tersebut.
-          Periode Sastra sebelum tahun 1920 terbagi atas beberapa zaman / masa:
a.    zaman purba                                                              c.   zaman islam
b.    zaman hindu/budha                                               d.  zaman peralihan.
-            Pada Zaman Purba hasil sastra belum mendapat pengaruh dari bangsa lain, masih berbentuk lisan (sastra rakyat) yang berupa cerita (volklore) ataupun bukan berbentuk cerita.
-            Pada Zaman Hindu/Budha sastra yang ditemukan dari zaman ini sudah berbentuk tulisan dengan huruf Arab Melayu, yang berarti ditulis setelah masuknya budaya Islam. Pengaruh Hindu sendiri di Nusantara sudah berlangsung sejak sekitar abad ketujuh Masehi.
-            Hasil sastra pada Zaman Hindu/Budha masih berupa hikayat-hikayat seperti “Hikayat Pandawa Lima/Jaya”  (Mahabrata) dan “Hikayat Sri Rama” (Ramayana).
-            Pada Zaman Islam , kesusastraan berkembang di wilayah-wilayah yang menjadi permulaan kedatangan Islam (memasuki abad ke -13) dan akhirnya tidak hanya sebagai pusat agama Islam, melainkan juga sebagai pusat kesusastraan yang juga didasari oleh kebudayaan Melayu.
-            Empat kerajaan Melayu yang menjadi pusat kesusastraan dan agama Islam tersebut adalah : Samudra Pasai (1280-1409), Malaka (1409-1511), Aceh (1511-1650) dan Johor – Riau (1650-1800).
-            Di masa kerajaan Samudera Pasai, karya sastra yang dihasilkan berupa sejarah berjudul “Hikayat Raja-raja Pasai”.
-            Di masa kerajaan Malaka, kesusastraan Melayu mencapai puncak kejayaannya. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor kerajaan Malaka yang merupakan kerajaan besar yang menjadi pusat penyebaran agama Islam dan pusat perdagangan dari berbagai bangsa.
-            Pada masanya, kerajaan Malaka menghasilkan beberapa naskah undang-undang seperti UU Malaka, UU Laut dan Hukum Kanun. Karya terbesar pada masa ini adalah sejarah Malaka, juga diikuti oleh karya lainnya yang berupa Hikayat seperti “Hikayat Hang Tuah”, “Hikayat Amir Hamzah” dan “Hikayat Mohamad Ali Hanafiah”.
-            Di masa Aceh (yang saat itu juga menjadi salah satu pusat kerajaan Melayu) lahir nama-nama pengarang terkemuka seperti : Hamzah Fansuri, Nuruddin Araniri, Abdul Rauf Singkel, Jauhari Al-Buchari dan Syamsudin Samatrani.
-            Pada masa kerajaan Aceh, hasil karya berpusat pada pengetahuan agama, ilmu sufi, filsafat, dan sebagainya, terbukti dari hasil karya Jauhari Al- Buchari yang berjudul “Tajussalatin” (pengetahuan ketatanegaraan). Selain itu pada masa ini juga dihasilkan hasil karya lainnya yang berbentuk prosa dan syair (syair burung pingai,syair perahu, syair sindang fakir – Hamzah Fansuri).
-            Di masa kerajaan Johor – Riau, tidak banyak menghasilkan karya sastra. Karya yang dihasilkan umumnya bercorak sejarah yang menceritakan raja-raja Johor seperti “Hikayat Johor”.
-            Pada Zaman Peralihan dikenal juga dengan Zaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, sebab pada zaman ini tokoh yang bernama Abdullah tersebut sangat berperan besar di dalamnya.
-            Pada zaman ini sastra Melayu mengambil bagiannya dalam kebudayaan dunia / kebudayaan Universal. Karena pada masa ini Nusantara sudah dimasuki oleh pengaruh dari bangsa asing terutama bangsa barat. Dan Abdullah adalah tokoh penulis yang banyak memiliki relasi dengan orang-orang barat sehingga cara berpikir dan caranya dalam menulis sebuah karya juga ikut terpengaruh yakni karya yang dihasilkan lebih “realis/nyata” dan “kalimatnya lebih pendek serta tepat dan jelas”. Itulah yang menjadi ciri khas hasil karya sastra pada masa Abdullah ini, berbeda dengan pengarang-pengarang sebelumnya yang banyak menghasilkan karya sastra panjang, berbelit dan kurang relis seperti dongeng dan hikayat.
-            Pada masa peralihan / masa Abdullah ini, pembaharuan hanya terletak pada sastra berbentuk prosa, sedangkan untuk bentuk puisi masih mempergunakan bentuk lama, pantun dan syair.
-            Sebagai pengarang produktif dan kreatif Abdullah banyak menghasilka karya sastra, diantaranya :
Hikayat Abdullah ; Kisah Pelayaran Abudllah dari Singapura ke Kelantan ; Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah ; Syair Singapura Dimakan Api ; Syair Kampung Gelam Terbakar ; Dawail Kulub (Pengobat Hati)Kitab Kamus Bahasa Melayu ; Mencetak Sejarah Melayu ; Menulis Quran Dengan Tulisan yang Indah dan bermacam-macam terjemahan dan saduran.
-          Masa Peralihan ini terhenti sekitar setengah abad lamanya, bermula setelah pencetusnya (Abdullah) meninggal pada tahun 1854.
-          Perkembangan dunia kesusastraan mulai tampak kembali memasuki abad ke -20, ketika berdirinya Balai Pustaka pada tahun 1908 yang berpusat di Jakarta.

Contoh Pidato #1



Tema : Peranan Mahasiswa Sebagai Pemuda Bangsa

Assalammualaikum Wr.Wb.
Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua.
Kepada Ibu dosen yang saya hormati, dan kawan sekalian yang saya banggakan.
Salam semangat !

Pada kesempatan ini, dalam rangka bulan dimana lahirnya “sumpah pemuda”, saya ingin menyampaikan sedikit pidato singkat mengenai peranan mahasiswa sebagai pemuda dalam kontribusinya terhadap bangsa.

Hadirin sekalian yang saya banggakan..
Berbicara soal negara kita, negara Indonesia tercinta tentu tidak akan ada habisnya. Ini bukan soal kenaifan ataupun ke-sok-pedulian, tapi ini tentang kesadaran, kesadaran yang hanya akan subur jika pemiliknya mau menyuburkannya.
Lalu bagaimana dengan peranan seorang mahasiswa? Sebenarnya ada sebab mengapa kita menjadi mahasiswa, semua pasti sudah tertulis dalam takdir, secara tidak langsung Tuhan telah memilih kita untuk menjadi pejuang intelektual dan moral, karena mahasiswa adalah golongan yang paling menyentuh ranah masyarakat umum,  paling dekat dengan dua sisi berbeda, antara bawah dan atas, antara kanan dan kiri dan antara kedamaian dan ketidak-adilan.

Kawan-kawan yang saya banggakan..
Menyambung peran mahasiswa sebagai pejuang intelektual dan moral, sangat jelas apa tugas kita, apa misi kita seharusnya. Yang mana kemudian tugas itu lah yang menjadi kontribusi kita terhadap bangsa.
Tugas yang pertama adalah sebagai pejuang intelektual. Mahasiswa belajar, belajar untuk mengejar, mengejar ketertinggalan, menambah pengalaman, mencari seribu alasan untuk berpikir lebih ke depan, mencari jawaban dari setiap permasalahan, dan kemudian memberi solusi untuk penyelesaian, sebagai pembuka jalan!
Kemudian tugas yang kedua adalah sebagai pejuang moral. Saat belajar dan tahu tentang sebuah kebenaran, sebagai pemuda yang cenderung mempunyai sikap lebih kritis dan idiologis sudah seharusnya ada pergerakan moral di dalam pergerakan pembelajaran kita. Sebagai kalangan yang paling dekat dengan masyarakat, sudah pasti kita memiliki peranan pembawa pesan moral bagi masyarakat. Begitu juga kepada pemerintah, sebagai mahasiswa yang kritis, kita juga musti membawa pesan moral. Sebagai pejuang moral tentu tanggungjawabnya langsung pada pengaplikasian sehari-hari. Bagaimana seorang mahasiswa bersikap dan menanggapi persoalan dengan tenang namun tetap kritis. Bagaimana seorang mahasiswa tidak diam, ketika melihat penyimpangan dan ketimpangan keadilan. Dimana ada rasa memiliki sebuah bangsa, mencintai dan menghargai. Bagaimana seorang mahasiswa musti menjadi yang terdepan dalam perihal empati terhadap sesama. Hingga pergerakan perjuangan moral akan lebih terasa manfaatnya.

Kawan-kawan..
Dalam perjalanannya, mahasiswa seharusnya mampu berpikir dengan berbagai sudut pandang. Melihat suatu hal dari sisi yang berbeda. Kita harus sesekali bisa menyisakan waktu untuk otak dan hati kita berembuk, meresapi apa yang sedang terjadi hari ini, esok ataupun lusa. Memikirkan hal yang tidak tersentuh oleh masyarakat umumnya, memikirkan apa yang harus dilakukan sebagai bagian dari anak negeri. Kita bisa memulai dari diri kita sendiri, dengan membangkitkan benih-benih empati, menyuburkan ladang simpatik di hati kita. Lalu memikirkannya apakah ini sudah benar atau masih menyimpang, dan membuat mimpi untuk masa depan sebagai wujud penolakan dari penyimpangan yang terjadi masa kini. Dan untuk masa kini? Berbuatlah sekuat kita mampu berbuat, hal sekecil apapun terhadap sesama, itulah fase-fase kita berusaha untuk menyuburkan rasa kesadaran sebagai seorang pemuda.
Tidak ingatkah kita mengenai peristiwa oktober  82 tahun silam? tepatnya pada tanggal 28 tahun 1928. Bagaimana sebuah deklarasi besar dilahirkan. Mengapa bernama “sumpah pemuda”?
Karena kala itu, yang menjadi penyubur persatuan bangsa adalah para pemuda, yang membangun kesadaran tentang bakti mereka terhadap nusantara dan negara yang sedang mereka cita-citakan. Kuncinya adalah persatuan. Dan menurut saya, persatuan mahasiswa semestinya bukan lagi dilambangkan oleh organisasi-organisasi tertentu. Tapi mahasiswa adalah mahasiswa, mahasiswa nusantara, dari ujung pulau sumatera sampai ujung pulau papua. Bukan lagi mahasiswa dibalik organisasi atas kepentingan yang lebih pribadi. Karena sudah saatnya kita berbicara sebagai mahasiswa nusantara, yang mulai memikirkan bagaimana mencari titik pembuka persoalan, yang menentang kemenangan oleh pedang.
Demikian lah hadirin sekalian, pidato singkat dari saya, mohon maaf atas setiap kekurangan. Semoga apa yang saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Salam semangat!
Wassalam.
Dinda Hn
2125102094 / 1c


Diambil dari tugas keterampilan membaca 'pidato' singkat


Senin, 11 Oktober 2010

Terbiasa

lurus, jauh, menerawang pandang..
di pinggir pantai bersalju, ataupun gunung berpasir
melangkahkan kaki ataupun mengepakkan sayap 
tajam, menikam, setiap sela layang dimensi tertangkap,
dalam merah warna udara, menghirup tajam kehampaan
NOL
dan datang menjadi SATU, LIMA, TUJUH, LIMA PULUH, BANYAK !!
lalu pergi semua bersamaan, seperti pasir yang terhuyung angin.

perlahan semua akan hilang, tapi aku sudah terbiasa, ramai lalu sepi serentak, aku sudah terbiasa, sejuk lalu senyap sekejap, aku sudah terbiasa, mengikhlaskan sejak dini atau bahkan mengusir pergi, agar keramaian tiada ada yang tersakiti, sunnguh aku terbiasa, dalam episode akhir di satu alur cerita : hanya aku tokoh utama, aku terbiasa

kering, perasaan, hati, atau bagian lain yang ku lupakan
sajak tentang kasih,  tak lagi berbumbu,
hambar tak dapat lidah menyentuh
kerikil, batu, semen yang mengering, menitikkan jejak-jejak keramaian,
dan kemudian hanya tertutup kumpulan debu

lalu kembali berjalan, meniti, menatap tajam ke depan,
seperti sirna warna pelangi itu, lalu kembali pada abu-abu,
lalu kembali dari keramaian, dan membatu

              Dinda Hn


Minggu, 10 Oktober 2010

Bulan Oktober : Milik Bahasa 'Ibu' ku .. Bahasa Indonesia

Tentang ‘Ibu’ ku.. ‘Ibu’ kami..

Bulan ini adalah bulan kelahiran Bahasa Ibu kami, dahulu kakak-kakak moyang kami yang mempersiapkannya, hadiah untuk Ibu, pada Oktober 1928 silam. Dan Ibu bilang, terutama hadiah ini adalah untuk kami, para generasi penerus, yang Ibu harapkan dapat merawat Ibu dengan baik kelak, dapat membanggakan Ibu dengan prestasi dunia kelak,dan dapat mencintai Ibu dengan hati yang tulus kelak.

Ibu kini sudah tua, 82 tahun usianya sejak anak-anak bangsanya mengakuinya sebagai kesatuan, meskipun belum diakui dunia. Setiap bulan ini, bulan Oktober ini, Ibu pasti ingat apa yang telah diberikan kakak-kakak moyang kami dulu, hadiah terindah yang dapat mengukuhkan Ibu agar tegar dan tegak berdiri. Sebuah bahasa yang bukan hanya sekadar diksi di dalamnya, tapi bahasa yang lahir dari kekukuhan hati seluruh anak-anak bangsanya kala itu. Bahasa yang dihadiahkan untuk Ibu yang sedang berusaha untuk tegar, tegak berdiri : Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

Bagi Ibu , Bahasa tersebut lah yang kelak akan Ia wariskan kepada kami, anak-anaknya. Sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya. Sebuah fenomena yang lahir dari rasa persaudaraan yang begitu kental, yang mampu mengangkat deraja Ibu di mata dunia kala itu.

Tapi kini ? Ibu  sedih, kami terlalu senang atas kedatangan tamu asing, kami lupakan Ibu  yang sedang lelah berbaring, kami jadikan Ibu terasing. Terasing.. sepi dan kering.


Surat Untuk ‘Ibu’ ku

Ibu, selamat hari lahir bahasamu..
Tersenyumlah Ibu, walau getir, walau pahit menahan sakit..
Ibu, selamat hari lahir keteguhanmu..
Bersemangatlah Ibu, walau ku tau, Kau rindukan anak-anak mu yang dulu..
Anak-anak bangsa yang menghadiahkan kain bahasa pemersatu untuk mu..
Ibu , selamat hari lahir kegigihanmu..
Demi namamu Indonesia, Kau tetap memiliki pemuda yang kelak kan membawa mu bangga,
Di mata dunia
Aku sayang Ibu..
Penuh cinta, Dinda.


Dalam Rangka Bulan Bahasa bagian 2

Terdepan